Kesederhanaan Leonardo da Vinci di Juventus Stadium

By Willy Kumurur - Selasa, 13 Februari 2018 | 11:13 WIB
Pemain Juventus, Federico Bernardeschi (kiri), merayakan golnya bersama Gonzalo Higuain dalam laga Liga Italia kontra Fiorentina di Stadion Artemio Franchi, Florence, pada 9 Februari 2018. (FILIPPO MONTEFORTE/AFP)

Tatkala Juventus berhasil mencapai final Liga Champions Eropa musim kompetisi 2014-2015 dan 2016-2017, klub ini mengalami dan merasakan berada di dua musim sekaligus: musim semi dan musim gugur.

Musim semi karena laga final berlangsung di akhir musim semi dan musim gugur karena I Bianconeri gugur dalam pertempuran melawan Barcelona (7 Juni 2015) dan Real Madrid (4 Juni 2017).

Usai digilas Madrid 1-4, “Panglima Perang” La Vecchia Signora, Massimiliano Allegri, berkomentar kepada media Football Italia.

"Kekalahan Juventus bukan akhir sebuah era. Setelah istirahat sejenak, kami akan memiliki motivasi lagi. Bukankah hidup memberi kita kesempatan untuk bangkit dan mencoba lagi?"

(Baca Juga: Bek Real Madrid: Tak Perlu Mantra Khusus untuk Hentikan Neymar!)

Motivasi besar yang bersemayam di dada pemain dan pelatih membuat Si Nyonya Tua bangkit lagi di Liga Champions musim ini.

Massimiliano Allegri kembali memimpin pasukannya untuk menghadang laju pasukan Mauricio Pochettino di kancah pertempuran babak 16 besar dini hari nanti saat menjamu Tottenham Hotspur di Allianz Stadium atau yang juga dikenal sebagai Juventus Stadium.

Sebuah esai yang menarik ditulis oleh Allegri berisi perspektifnya tentang peranan manajer sepakbola pada level remaja dan tingkat profesional.

Dalam esai tersebut Massimiliano Allegri menulis bahwa ia menciptakan sebuah aplikasi di Google Play yang diberi nama: Mr. Allegri Tactics.

Dengan aplikasi ini, siapa saja dapat memahami cara Allegri melatih dan filsafat yang ia anut tentang sepakbola.

Massimiliano Allegri menulis bahwa jika ia ditanya apa filosofinya dalam menangani klub yang dilatihnya, dia menjawabnya dengan mengutip kalimat yang pernah diucapkan oleh pelukis masyhur Italia abad ke-14, Leonardo da Vinci

Simplicity is the ultimate sophistication (kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi)."

Apa artinya kalimat Leonardo da Vinci itu?

Amat sering kita memiliki kecenderungan untuk membuat segala sesuatu menjadi rumit ketimbang menyederhanakannya.

Asumsi kita adalah bahwa kecanggihan itu sama dan sebangun dengan hasil, kecemerlangan, kinerja, dan kecerdasan.

Dalam buku Paradox of Choice, Barry Schwatz menampilkan hasil penelitian bahwa dengan adanya banyak pilihan, konsumen akan sering kali menjadi “lumpuh.”

Barry Schwatz menyajikan hasil survei yang dilakukan di supermarket yang menunjukkan kebalikannya.

Ketika pelanggan disajikan dengan banyak pilihan merek dari produk barang tertentu, lebih sedikit pelanggan membeli item tersebut dibandingkan bila lebih sedikit merek yang ditampilkan.

Seleksi yang lebar menyebabkan kelumpuhan pilihan, pelanggan malah tidak dapat memutuskan merek mana yang akan dipilih.

Akibatnya, mereka pergi tanpa memilih apapun. More is less. Manusia memiliki kecenderungan merumitkan ketimbang menyederhanakan.

Dengan filosofi Leonardo da Vinci "simplicity is the ultimate sophistication", Massimiliano Allegri memandang bahwa less is more dan siap menjawab tantangan Tottenham Hotspur, yang menyambangi kandang Si Nyonya Tua.

(Baca Juga: Psywar Ala Klub Swedia Jelang Menjamu Arsenal di Liga Europa)

The Lilywhites membawa pasukan berisi Harry Kane, top scorer Liga Inggris dan mesin-mesin perang yang menurut Mauricio Pochettino memiliki kadar oktan tinggi (high octane)yang terbukti menghancurkan Real Madrid di fase grup.

Maka bersiaplah menyaksikan pertempuran antara penggawa-penggawa simplicity versus high octane.