Susah Diatur Bikin Belanda Lacur, Gagal ke Piala Dunia 2018

By Jalu Wisnu Wirajati - Rabu, 11 Oktober 2017 | 07:31 WIB
Kapten Belanda, Arjen Robben (kanan), merayakan gol yang dicetak dengan memeluk Daley Blind dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2018 zona Eropa kontra Bulgaria di Amsterdam, Belanda, pada 3 September 2017. (JOHN THYS/AFP)

Itu berarti, 6,7 persen dari populasi Belanda merupakan pesepak bola, profesional maupun amatir. 

Rasio itu sangat tinggi dibandingkan negara sepak bola lain. Ambil contoh Inggris yang mengklaim negeri kelahiran sepak bola. Di negara tersebut terdapat 1,49 juta pesepak bola terdaftar. Namun, jumlah itu hanya 2,75 persen dari total populasi. 

Maka tak heran, dengan didukung kurikulum yang baik di akademi-akademi sepak bola, Belanda tak pernah kekurangan pesepak bola berbakat. Sebut saja Cruyff, Ruud Gullit, Marco van Basten, Dennis Bergkamp, hingga generasi Arjen Robben, Robin van Persie, dan Memphis Depay hanyalah segelintir pemain hebat asal Negeri Tulip. 

Kendati demikian, surplus pemain berbakat itu ternyata tak berbanding lurus dengan prestasi tim nasional Belanda. Prestasi terbaik De Oranje "cuma" juara Piala Eropa 1988. Cukup aneh bukan? 

(Baca juga: Rekan-rekan Cristiano Ronaldo Bantu Jerman Jadi Satu-satunya Tim Terbaik Eropa!)

Apa yang salah dengan Belanda? Jika melihat ketersediaan sumber daya, kekeringan prestasi itu merupakan sebuah anomali. 

Egaliter

Ada banyak asumsi terkait prestasi miris De Oranje, mulai dari kompetisi domestik yang tak kompetitif hingga friksi yang kerap terjadi di timnas. Hal terakhir ini tak lepas dari egalitarianisme di masyarakat Belanda, dalam hal ini pesepak bola. 

Prinsip egaliter itu membuat Belanda kerap kesulitan membuat tim yang kuat. Karena prinsip itu begitu kuat, para pemain menjadi susah diatur. Mereka cenderung bersuara sama vokalnya dengan pelatih. Akibatnya, konflik tak terhindarkan. 

"Setelah menjadi juara Piala Eropa 1988, Belanda gagal di Piala Dunia 1990. Hal itu tak lepas dari kondisi internal tim yang tak harmonis," cerita Gullit pada acara jumpa penggemar yang digagas Etihad di Jakarta, Sabtu (5/9/2015). 

"Saat itu, para pemain meminta adanya pergantian pelatih (Thijs Libregts). Saat itu, para pemain ingin Cruyff menjadi pelatih. Namun, federasi (KNVB) malah memilih Leo Beenhakker," tutur kapten De Oranje di Piala Eropa 1988 itu.