Kenapa Mesin Gol Lokal Kalah Bersaing dengan Asing?

By Selasa, 24 Oktober 2017 | 20:56 WIB
Pemain Persipura, Boaz Solossa dan Boakay Eddie Foaday, merayakan kemenangan atas PS TNI di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat. (HERKA YANIS PANGARIBOWO/BOLA/JUARA.NET)

Sungguh ironis.

(Baca Juga: Daftar Lengkap Penerima Penghargaan di FIFA Football Award Edisi 2017)

Striker asing awalnya berfungsi sebagai penyuplai bola sekaligus pendongkrak kualitas penyerang lokal, seperti yang terlihat pada edisi perdana Liga Indonesia (1994/95).

Kala itu, Peri Sandria selaku pencetak gol terbanyak dan Buyung Ismu (Pelita Jaya) yang berada di posisi runner-up sama-sama mencetak lebih banyak gol ketimbang tandem di klub masing-masing.

Pasangan Peri adalah Dejan Glusevic (Montenegro), sedangkan Buyung berduet dengan salah satu legenda sepak bola dunia, Roger Milla (Kamerun).

Dejan tercatat hanya menorehkan 22 gol, sementara Milla cuma 16.

“Fungsi pemain asing, terutama yang berposisi penyerang, sudah bergeser. Dulu, kami benarbenar diservis oleh mereka. Ketajaman saya dan Peri di LI 1994/95 merupakan buah dari sokongan Milla dan Dejan,” kata Buyung Ismu kepada BOLA di kediamannya.

LI 1994/95 adalah masa keemasan striker lokal. Terdapat empat nama yang berhasil membukukan 20 gol atau lebih.

Setelah itu, paling banter hanya ada tiga di Liga Super Indonesia (LSI) 2013, tapi dua nama berstatus naturalisasi.

Musim ini, menyaksikan pemain lokal menjadi top scorer Liga 1 tampak mustahil, tapi paling tidak penikmat sepak bola nasional masih bisa berharap koleksi Samsul Arif menembus 20 gol sebagai bentuk ‘perlawanan’, bahwa pemain lokal tak benarbenar tenggelam di rumah sendiri.