Dipicu European Super League, PHI Ajak Penggemar Bangun Industri Sepak Bola yang Lebih Adil

By Beri Bagja - Jumat, 30 April 2021 | 07:30 WIB
Ilustrasi logo European Super League. (TWITTER.COM/SPORF)

Untuk menjelaskan hal itu, Nandi mengisahkan bagaimana klub american football, Oakland Raiders yang berbasis di kota Oakland kemudian dipindahkan pemiliknya ke Los Angeles dan Las Vegas.

Ini mengingatkan kita pada klub sepak bola legendaris Pelita Jaya, yang awalnya berbasis di Jakarta, lalu pindah ke Solo, Cilegon, Purwakarta, Karawang, Bandung hingga akhirnya berakhir dan berubah menjadi Madura United.

“Pada konteks itu dan dalam perspektif HAM, sepak bola adalah ruang partisipasi bagi masyarakat”, tambah Haris Azhar.

”Bahkan dalam studi kejahatan, olahraga adalah metode resolusi konflik untuk menghentikan kejahatan”, tegasnya.

Menurutnya, pengelolaan sepak bola seharusnya meneguhkan cita-cita luhur tersebut termasuk penghargaan terhadap buruhnya.

Meski seperti Nandi yang menolak LSE, Haris menilai terdapat eksploitasi pemain sepak bola dalam proposal baru Liga Champions Uni Sepak Bola Eropa (UEFA) melalui penambahan jadwal pertandingan.

Baca Juga: Tak Ada Bedanya, Format Baru Liga Champions Sama Jahatnya dengan European Super League

Kritik terhadap lembaga-lembaga sepak bola juga ditegaskan oleh Ignatius Indro.

“Kasus-kasus korupsi FIFA dan UEFA di masa lalu telah menunjukkan bahwa mereka tak lebih baik dari pendiri LSE”, katanya.

Pascakasus korupsi Nurdin Halid, FIFA pernah mempersulit pemerintah Indonesia saat mereformasi PSSI.