Piala AFF U-16 2022 - Skuad Timnas U-16 Indonesia Yang Tak Mau Jadi Lintang

By Sasongko Dwi Saputro - Senin, 15 Agustus 2022 | 13:30 WIB
Skuat timnas U-16 Indonesia juara Piala AFF U-16 2022 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Jumat (12/8/2022). (MUTIARA KURNIA/BOLASPORT.COM)

BOLASPORT.COM - Skuad juara Timnas U-16 Indonesia pada Piala AFF U-16 2022 memang penuh keajaiban sebagai sebuah bakat, namun masih butuh jalan panjang agar tak bernasib seperti Lintang.

Saat menyinggung timnas U-16 Indonesia, penulis ingat sosok Lintang sebagai tokoh sentral dalam magnum opus sastrawan kenamaan Indonesia, Andrea Hirata dalam tetralogi buku Laskar Pelangi.

Sosoknya muncul di dua buku awal, digambarkan sebagai siswa jenius yang berasal dari kalangan tak berada dan tak punya privilige istimewa.

Bahkan sang penulis menggambarkannya sosoknya sebagai generasi pertama keluarganya yang menyentuh bangku sekolah.

Sosok Lintang terkenal tangguh yang terbentuk oleh keadaan, karena kerap melewati rawa penuh buaya dan jarak tempuh sepanjang puluhan kilometer dalam perjalanan menuju sekolah tiap hari.

MUTIARA KURNIA GUSTI/BOLASPORT.COM
Skuat timnas U-16 Indonesia saat menyanyikan lagu kebangsaan sebelum melawan Vietnam di final Piala AFF U-16 2022, Jumat (12/8/2022).

Namun dialah yang kemudian menerangi nebula sebuah sekolah yang hampir tutup karena kekurangan murid.

Sosok Lintang merupakan cerminan dari para pemain berbakat tanah air, termasuk para pemain timnas U-16 Indonesia yang berhasil jadi juara Piala AFF U-16 2022.

Penulis merasakan sosok Lintang tersebut dalam diri para pemain selama mengamati penampilan mereka di Piala AFF U-16 2022 dari dekat, baik di sesi latihan maupun setiap laga di Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Dalam lima pertandingan, mereka menampilkan permainan layaknya seorang jenius layaknya Lintang di lapangan hijau.

Anda bisa membayangkan bagaimana sosok Nabil Asyura yang mampu melakukan tembakan salto di usianya yang baru 15 tahun.

Atau anda bisa membandingkannya dengan Riski Afrisal dengan kemampuan tendangan bebasnya mampu menyelamatkan timnas U-16 Indonesia dari kekalahan di partai semifinal melawan Myanmar.

Contoh paling aktual tentu sang penentu kemenangan timnas U-16 Indonesia, Muhammad Kafiatur Rizky.

Baca Juga: Timnas U-16 Indonesia Libur 2 Minggu Usai Juara Piala AFF U-16 2022 Lalu Bersiap Kualifikasi Piala Asia U-17 2023

Kafiatur Rizky punya bakat spesial yang mungkin jarang ada padanannya di Indonesia, berposisi sebagai gelandang, namun mampu memainkan semua peran yang diminta Bima Sakti di lini tengah, termasuk mencetak gol sensasional lewat sepakan melengkung di partai puncak.

Namun seperti di dalam tetralogi Laskar Pelangi, Lintang memang bernasib tak mujur, karena keluarganya tak mampu lagi membiayai pendidikannya.

Waktu itu negara memang belum mampu memberikan jaminan sosial untuk orang-orang seperti Lintang, sehingga mimpi tersebut pupus seketika.

Layaknya Lintang, banyak calon bakat terbaik Indonesia yang tak pernah mekar pada waktunys.

Boro-boro berduel dengan Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, bakat terbaik Indonesia saat ini maksimal baru bisa tampil di Liga-liga kelas dua Eropa atau yang paling apes tak pernah lagi menginjakkan kakinya di dunia professional usai dipuja-puji warganet tanah air.

Mengapa? Seperti analogi negara sebelumnya, selama ini PSSI belum mampu menghadirkan ekosistem yang teratur dari timnas dan Liga profesional hingga siswa Taman Kanak-kanak yang bermimpi jadi pesepak bola di pirmaida terbawah.

Ada banyak hal lain yang menyebabkan para pemain Indonesia yang awalnya berbakat di tingkat yunior lalu melempem di timnas senior.

Baca Juga: Presiden Jokowi Selamati Keberhasilan Timnas U-16 Indonesia Jadi Juara Piala AFF U-16 2022

Perasaan cepat puas memang disebut-sebut sebagai “penyakit” utama para pemain Indonesia.

Namun pertanyaannya, jika pembaca adalah seorang pemain, apakah anda senang jika di usia 20 tahun sudah mendapatkan gaji bulanan yang cukup besar dan segala macam benefitnya sebagai pemain sepak bola di Liga Indonesia yang situasinya seba abu-abu?

Karena itu, menyalahkan pemain semata bukanlah sesuatu yang adil buat mereka, mengingat situasi dan kondisi sepak bola tanah air.

Contoh klasik tentu adalah generasi timnas U-19 Indonesia yang jadi juara di bawah Indra Sjafrie pada Piala AFF U-19 2013. Evan Dimas dkk. diarak keliling Indonesia layaknya selebritis dalam tajuk “Tur Nusantara” usai lolos ke Piala Asia U-19 2014.

Kemudian mereka mengalami nasib pahit saat PSSI mengalami sanksi FIFA selama dua tahun dan akhirnya melewatkan masa-masa penting untuk tumbuh kembang.

Berapa pemain dari generasi tersebut yang mampu menembus timnas Indonesia senior atau setidaknya jadi andalan klub Liga 1?

Pelajaran pahit dari generasi Evan Dimas dkk lah yang setidaknya menyadarkan PSSI untuk membentuk liga untuk klub professional berdasarkan kelompok usia dalam tajuk Elite Pro Academy (EPA).

Baca Juga: PSSI Akhirnya Pertimbangkan TC Untuk Timnas U-16 Indonesia di Luar Negeri, Tujuannya ke Eropa

TWITTER.COM/SQUAWKA
Penyerang Wolverhampton Wanderers, Hwang Hee-Chan, merayakan gol ke gawang Arsenal dalam laga Liga Inggris di Stadion Emirates, Kamis (24/2/2022).

Meski terlaksana dengan segala kekurangan dan berlangsung dalam tempo singkat tiap musim, EPA masih berjasa melahirkan Marselino Ferdinan, Kakang Rudianto, hingga Pratama Arhan.

Di negeri yang punya ekosistem sepak bola terbaik seperti Korea Selatan sekalipun, timnas kelompok umur tak menjamin karir profesional yang cerah.

Kalau tidak percaya, cari melalui Google di gawai anda sekarang dan sebutkan rekan segenerasi Hwang Hee-chan yang berhasil jadi pilihan utama di klub Eropa? Tidak ada, kecuali Hwang Hee-chan sendiri.

Untuk itu, mengingat jalur untuk Iqbal Gwijangge, Nabil Asyura, hingga Kafiatur Rizky untuk mencapai karir profesional masih sangat panjang, maka dibutuhkan peran penting federasi, klub, dan orang tua yang menaungi para pemain benar-benar dibutuhkan untuk mengawal tumbuh kembang mereka.

Pada dasarnya publik tak mau menyaksikan Lintang-Lintang baru di tubuh timnas U-16 Indonesia yang akhirnya gagal mentas atau layu lebih cepat seperti kisah Mozart dan naskah terakhirnya itu.

Dua kemungkinan tersebut bakal jadi keniscayaan dalam siklus hidup para pemain muda di dunia sepak bola, apalagi di negeri Indonesia yang masih punya problem infrastruktur dasar.

Penulis secara terbuka tak mampu mengakhiri tulisan ini, kecuali hanya melalui sebuah pertanyaan sederhana untuk pembaca. Apakah pembaca mampu melepaskan ekspektasi untuk timnas U-16 Indonesia saat ini? Jika kalian jawab iya, maka beruntunglah kalian bisa membantu mereka berkembang maksimal.