Fans Liverpool dan para penggemar timnas Mesir mempunyai musuh kolektif seusai final Liga Champions, Minggu (27/5/2018). Nama Sergio Ramos langsung menjadi nama yang dibenci.
Sergio Ramos diberi label villain: penjahat keji, algojo tanpa hati, dan sosok antagonis.
Sontak, nama Ramos tak jauh beda dari Thanos, Voldemort, Sauron, Darkseid, Hannibal Lecter, dan Darth Vader.
Hal ini, tentu saja, berawal dari insiden yang melibatkannya dengan top scorer Liverpool, Mohamed Salah, pada menit ke-24.
Menarik memang, untuk menjelaskan kejadian ini, seseorang tak dapat melakukannya tanpa memberi konteks dan opini pribadi.
Beberapa menyebutnya sebagai pelanggaran, aksi tak terpuji dari Ramos untuk mencoba mencederai lawan.
Sebagian lain mengatakan insiden tersebut murni kemalangan yang timbul karena posisi jatuh kikuk Salah.
Semua tergantung sudut pandang masing-masing.
Perihal siapa yang menarik duluan sehingga kejadian itu tercipta, merupakan suatu perdebatan yang tengah berlangsung di berbagai medium, baik di dunia digital atau pun fiisik.
I'm not a fan of Sergio Ramos, but if u still blame him for Mo Salah's injury after watching what happened from this angle then football is not for u. Tennis is probably the game shuld be watching -- where players stick to their lane with no body contact with opponents. #UCLFinal pic.twitter.com/FYPLJaUY28
— Prins (@KindPrins) May 27, 2018
Sergio Ramos literally dragged him away with his hand locked in. Disgusting is an understatement. pic.twitter.com/8kYIxJaadH
— ᴱᴰᴱᴺ (@DareToEden) May 28, 2018
"Anyone that understands football would know that Ramos injured Salah intentionally" - Mido pic.twitter.com/j776ehJS1T
— Footy Accumulators (@FootyAccums) May 28, 2018
Belum lagi ada tuduhan ke Sergio Ramos bahwa ia melakukan tindakan nakal, dua menit sebelum kesalahan fatal Loris Karius ketika memberikan bola ke Karim Benzema.
Mereka fokus pada pergerakan Ramos yang diduga menyikut Karius di kotak penalti setelah ia bertabrakan dengan Virgil van Dijk.
Namun, segala cercaan dan hinaan ke Sergio Ramos (setidaknya menurut saya) merendahkan kehebatan sang pemain dalam sepak bola.
Faktanya adalah dia merupakan salah satu pemain paling bergelimang trofi sepanjang sejarah sepak bola.
Sergio Ramos sudah empat kali juara Liga Champions dan Liga Spanyol. Ia juara dunia dan dua kali juara Eropa bersama Spanyol. Ia tiga kali memenangkan Piala Dunia antarklub.
Seperti semua orang, Ramos punya motif. Namun, kita tak bisa menebak-nebak apa yang ada di kepalanya pada momen tersebut.
Dari sudut pandang penonton, adalah tugas dia sebagai bek tengah di sisi kiri untuk menghentikan laju Salah yang kerap memotong ke dalam dari sisi kanan penyerangan Liverpool.
Strategi kedua pelatih, Juergen Klopp dan Zinedine Zidane, yang mempertemukan mereka di lapangan.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Timnas Jerman di Fase Grup)
Seseorang tak bisa mencapai apa yang ia lakukan tanpa sisi kompetitif nan membara.
Saya pribadi berargumen bahwa Sergio Ramos tidak ingin secara gamblang membuat Salah atau pemain mana pun ditandu keluar lapangan.
Namun, persepsi orang-orang tentu akan dipengaruhi oleh fakta bahwa ia pernah mendapat 24 kartu merah sepanjang karier.
***
Mungkin ada pendekatan lain yang bisa menjelaskan perbuatan sang pemain.
Dalam perjalanan hidupnya, Ramos tentu belajar banyak dari berbagai duel dengan klub-klub Italia atau timnas negeri Pizza sendiri.
Melakukan pelanggaran terhadap lawan itu sebuah seni.
Pada 2016, setelah timnas Italia besutan Antonio Conte secara mengejutkan menumbangkan timnas multi bintang Belgia 2-0, saya menulis tentang furbizia.
Kamus bahasa Italia mengartikan furbizia sebagai "kualitas untuk mengeksploitasi kondisi demi mencapai tujuan Anda”.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Timnas Belgia di Fase Grup)
Para pemain Azzurri rela mendapat kartu kuning setelah menarik baju atau menjatuhkan para pemain Belgia di tengah lapangan agar merusak ritme lawan.
Menurut John Foot di bukunya, Winning at All Costs: A Schandalous History of Italian Soccer, istilah tactical foul mulai dikenal pada 1990-an dan menjadi praktek standar di Italia.
Tindakan ini ini tidak menyalahi sepak bola.
Justru, aksi tersebut mengeksploitasi peraturan di mana permainan tak bisa terus berlanjut apabila wasit meniup peluit setelah seorang pemain melanggar lawan.
Tentu, tactical foul bukan berarti mencederai lawan.
Pun, secara teknis, kejadian yang menimpa Ramos dan Salah tidak tergolong tactical foul karena laga berlanjut dan wasit Milorad Mazic tak menilainya sebagai foul.
Namun, prinsipnya tetap sama: mengeksploitasi kondisi demi mencapai tujuan!
***
Berlanjut dari pelanggaran itu, Liverpool masih punya 2/3 laga atau 60 menit untuk mengembalikan keadaan.
Apa yang terjadi selama satu jam lebih tersebut?
Liverpool hanya mencatatkan 1 tembakan tepat sasaran, yang setidaknya berbuah gol oleh Sadio Mane.
Selebihnya, tak ada pemain The Reds yang meningkatkan permainan mereka untuk mengisi kekosongan sepeninggal Mo Salah.
Sebagai perbandingan, Cristiano Ronaldo keluar pada final Euro 2016 tetapi para pemain Portugal berhasil menjaga level permainan dan bahkan mengalahkan timnas Prancis, tim tuan rumah yang begitu diunggulkan pada laga tersebut.
Kesalahan-kesalahan Loris Karius semakin mengeksploitasi kekuatan para pelapis Liverpool.
Ketika partai memasuki fase genting, Juergen Klopp melihat bench-nya dan (mungkin) hanya bisa menghela nafas.
Adam Lallana sudah ia masukkan untuk mengganti Salah. Sisanya ada Dominic Solanke, Nathaniel Clyne, Emre Can, Alberto Moreno, Ragnar Klavan, dan Simon Mignolet.
Pergantian kedua baru ia lakukan dengan delapan menit waktu normal tersisa, menarik James Milner dan memasukkan Can.
Pada fase laga tersebut, sudah terlihat bahwa substitution hanya dilakukan karena energi Milner sudah terkuras habis.
Klopp pun hanya perlu melihat ke samping untuk melihat jomplangnya kekuatan kedua tim.
Zinedine Zidane punya kemewahan untuk menurunkan Gareth Bale pada medio babak kedua. Kontribusi Bale fantastis dengan menjadi pahlawan dua gol.
Si kepala plontos hanya memberikan anak emas sepak bola Spanyol, Marco Asensio, satu menit waktu normal dan menyimpan Lucas Vazquez, yang berperan besar dalam kemenangan atas Juventus di perempat final, di bangku cadangan.
***
Dua hal yang membuat fans Liverpool teramat-amat kesal terhadap Sergio Ramos bisa jadi karena ia merusak narasi yang telah terbangun jelang laga final.
Rekan saya, Lariza Adisty, menulis di kolomnya tentang skenario tersebut. Bahwa di dunia ideal atau film Hollywood, Mohamed Salah mencetak gol kemenangan Liverpool atas Real Madrid.
Beberapa fan tak sabar dengan cerita heroik dunia sepak bola yang melibatkan The Reds tersebut.
Kedua, banyak yang berharap Liverpool layak menjadi juara Liga Champions karena pengulangan sejarah.
Sebagian berharap apa yang terjadi pada 1981 bisa terulang.
Ketika itu, sama seperti 2018, ada Royal Wedding, Presiden AS berasal dari partai Republik, Inggris memiliki Perdana Menteri wanita, Eintracht Frankfurt juara Piala Jerman, dan Liverpool menjuarai Piala Champions.
Semangat ini sama seperti George Lucas, sutradara dan aktor intelektual di balik Star Wars, saat menggambarkan hubungan ketiga film prequel trilogy dengan Star Wars klasik.
Ia berbicara tentang pengulangan yang mengingatkan pemirsa terhadap film-film masa lalu.
“Seperti puisi, film-film tersebut mengandung rima”, tutur Lucas.
Oleh karena itu, kita bisa melihat bagaimana setiap edisi terbaru Star Wars dan spin-off nya selalu mempunyai momen-momen throwback ke film-film terdahulu.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Ternyata, kedua narasi tersebut tak terwujud sama seperti prequel trilogy yang masih jauh dari kehebatan original trilogy Star Wars.
Street smart dan pengalaman Real Madrid menjadi pembeda. Tujuh starter Real Madrid di Kyiv turun di final musim lalu.
Skuat Real Madrid mengoleksi 47 medali Liga Champions berbanding satu dari Liverpool, Emre Can (FC Bayern 2012-13).
Termasuk laga ini, Los Blancos menjuarai empat dari lima final Liga Champions terakhir.
Singkat kata, Real Madrid tahu caranya menang!
Sergio Ramos akan dikritik banyak orang karena insiden di Kyiv.
Namun, setiap hari ia akan diingatkan oleh kata-kata inspiratif yang ia pilih untuk dibuat tinta ke dirinya sendiri.
Ya, ter-tatto di tulang rusuk sang atlet adalah kata-kata Nelson Mandela di film Invictus, "Terima kasih Tuhan untuk jiwa saya yang tak bisa ditaklukkan. Saya adalah penguasa jalur nasib saya sendiri, kapten jiwa saya."
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar