Pembatalan Regulasi U-23 di Liga 1 dan Ludah di Piring Makan PSSI

By Andrew Sihombing - Rabu, 6 September 2017 | 10:26 WIB
Gelandang serang Persib, Gian Zola (depan) saat ditempel bek Semen Padang, Handi Ramdhan, pada laga perebutan posisi tiga Piala Presiden 2017 di Stadion Pakansari, Kab Bogor, Minggu (12/3/2016) malam. (HERKA YANIS/JUARA.NET)

Robert Rene Alberts sudah berkali-kali membuat merah telinga petinggi PSSI dan PT LIB di musim ini. Pelatih PSM tersebut seperti tak bosan menembakkan kritik pedas, baik soal kepemimpinan wasit hingga pelaksanaan kompetisi.

Dalam wawancara dengan BOLA beberapa waktu lalu, lelaki 62 tahun ini menyebut ia bukannya hendak membuat gaduh.

Robert mengaku hanya ingin agar sepak bola dan kompetisi di Indonesia dijalankan sesuai dengan aturan dan penuh integritas.

Kata Robert, beberapa kali ia mesti menyampaikan protes lewat media sosial pribadinya karena tidak ada tanggapan dari PSSI dan PT LIB sebagai operator kompetisi.

Karenanya, saat sosok vokal seperti Robert tak mampu lagi berkata-kata atas sesuatu yang dianggapnya nyeleneh, tentu bisa dibayangkan betapa sang pelatih sudah teramat gemas.

Begitulah reaksinya saat BOLA bertanya soal keputusan PSSI, yang disampaikan melalui PT LIB kepada klub peserta Liga 1, soal tidak diberlakukannya lagi regulasi U-23 hingga Liga 1 berakhir.

"Jawab saja bahwa saya betul-betul bingung. Tak tahu lagi apa yang mesti saya katakan soal liga ini," katanya via Whatsapp melalui media officer PSM, Andi Widya Syadzwina.

(Baca Juga: Sukses Menjadi Bintang Lapangan, Ternyata Ini Harapan Mulia Egy Maulana Vikri bersama Timnas)

Sinyal

Sebagaimana diketahui, lewat surat bernomor 155/LIB/VI/2017 pada akhir Juni lalu, PSSI melalui PT LIB menyampaikan bahwa klub Liga 1 tidak lagi diwajibkan memainkan tiga pemain U-23 di setiap pertandingan.

Periode penangguhan ini berlaku mulai 3 Juli hingga 30 Agustus 2017.

Aspek fairness kompetisi, mengingat jumlah pemain yang dipanggil timnas untuk Kualifikasi Piala AFC U-23 dan SEA Games 2017 tidak sama di tiap klub, serta kualitas dan popularitas kompetisi kala itu disebut sebagai alasan penangguhan.

Namun, saat periode penangguhan semestinya sudah usai, PSSI malah berubah sikap.

Sinyal perubahan ini terlihat dari jawaban Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria, saat BOLA bertanya mengenai regulasi U-23 akhir bulan lalu.

Tisha ketika itu cuma menjawab bakal ada perubahan, namun tidak menjelaskan seperti apa perubahan yang dimaksud.

Hingga kemudian keluarlah surat bernomor 270/LIB/VIII/2017 mengenai tidak diberlakukannya lagi regulasi tersebut hingga musim kompetisi 2017 berakhir.

"Hal ini memperlihatkan inkonsistensi dalam regulasi. Bila PSSI saja tidak konsisten dalam implementasi regulasi, bagaimana yang lain bisa menghargai," kata pengamat yang juga eks Direktur Kompetisi PSSI, Tommy Welly.

"Saya prihatin dan merasa miris. Kompetisi yang seharusnya menjadi wajah sepak bola, justru regulasinya tidak ajeg. Padahal, regulasi itu ibarat fondasi," tuturnya.


Ratu Tisha berpose setelah meluangkan waktu wawancara khusus dengan wartawan Tabloid BOLA dan JUARA.net pada Kamis (22/9/2016).(WESHLEY HUTAGALUNG)

Tidak Serius

Pria yang akrab disapa Towel ini menyebut bahwa perubahan regulasi di tengah jalan justru melanggar aspek fairness atau azas keadilan bagi kompetisi itu sendiri.

"Secara sepak bola, apa yang terjadi di pekan pertama hingga ke-11 saat regulasi U-23 berlaku dengan kondisi sejak pekan ke-12 sampai selesai, kompetisi sudah tidak lagi dalam kondisi yang sama," tuturnya.

"Ini yang seharusnya tidak boleh terjadi. Regulasi mesti konsisten hingga kompetisi berjalan dalam koridor yang sama," ucapnya.

Inkonsistensi regulasi ini bisa disebut sebagai dosa PSSI terhadap kompetisi dan klub.

Regulasi U-23 awalnya diniatkan untuk mempercepat matangnya pemain yang disiapkan untuk Kualifikasi Piala AFC U-23 dan SEA Games 2017 mengingat PSSI, yang bangkit lagi dengan kepengurusan baru awal tahun ini, belum punya waktu melakukan pembinaan pemain muda.

Namun, di saat klub sudah berdamai dengan pelanggaran esensi kompetisi profesional, di mana penilaian kepantasan semestinya dilakukan berdasarkan kompetensi dan bukan faktor lain seperti usia pemain, PSSI kembali berganti sikap tanpa meminta pertimbangan klub.

Di satu sisi, tindakan ini bisa diibaratkan seperti orang yang meludah di piring yang sebelumnya dipakainya untuk makan.

"Pembatalan regulasi juga menimbulkan pertanyaan apakah regulasi ini sejak awal sudah melalui proses penelaahan yang cermat atau tidak," ujar Towel.

"Buktinya, setelah pekan ke-11 ditunda dengan alasan SEA Games. Alasan mendorong pemain muda seperti tidak serius dan tidak terencana dengan baik," kata Towel.


Para pemain Timnas Indonesia U-23 berselebrasi seusai mencetak gol ke gawang timnas Timor Leste dalam kualifikasi Piala Asia U-23 Grup H di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (27/3/2014).((KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES ))