Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media atas Budaya, dari Lapangan Hijau ke Kuasa dan Suaka

By Aulli Reza Atmam - Selasa, 18 Desember 2018 | 18:10 WIB
Buku Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media atas Budaya (DIMAS WAHYU INDRAJAYA/BOLASPORT.COM)

Meski demikian, penulis agaknya melewatkan kesempatan untuk lebih banyak menyoroti berbagai kejadian yang ada di sepak bola dalam negeri sebagai contoh untuk membuat buku ini semakin menarik, sementara banyak fenomena-fenomena yang ada di Tanah Air sebagai negara gila bola yang bisa digali bahan analisa.

Terlebih, karya akademik yang meneliti kultur penggemar sepak bola Indonesia bukanlah hal yang asing sehingga penulis bisa menggunakannya untuk memperkaya materi sekaligus bahan perbandingan dengan apa yang ada di luar negeri.

Ini juga sekaligus menantang pembaca untuk menggunakan sendiri paparan dari penulis sebagai pisau analisis untuk mengamati dan memahami kultur suporter yang ada di sepak bola Indonesia.

Lewat pembahasan mengenai budaya hibrid misalnya, pembaca akan mendapat pemahaman mengenai mengapa ada orang Indonesia yang begitu menggemari klub dari Eropa yang berjarak ribuan kilometer dan tempat asalnya.

Belum lagi jika melihat maraknya acara nonton bareng yang biasa digelar pada dini hari mengikuti jam pertandingan, ada efek dari gelombang globalisasi yang memicu munculnya kebudayaan dan identitas baru.

Kemudian ada pula bagian selanjutnya dari buku ini yang mengulas fesyen dan pola konsumsi juga bisa memberi penjelasan mengenai perubahan gaya yang ada pada suporter klub lokal Indonesia, sebut saja misalnya kemunculan kelompok bergaya casual yang meramaikan kompetisi domestik Tanah Air.

Beranjak dari serba-serbi penggemar, di bagian berikutnya pembaca dibawa untuk menyimak bagaimana sepak bola berhubungan erat dengan bisnis dan industri.

Dalam bagian tiga, penulis menjelaskan bagaimana sepak bola menjadi sebuah agama bagi para pemujanya.

Bagaimana sepak bola menjadi sebuah agama sebenarnya tidak sulit untuk dimengerti dengan mengamati perilaku para penggemarnya, namun penulis juga memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana agama sepak bola tersebut tidak memiliki dimensi spiritualitas dan eksis di bawah naungan kapitalisme global yang memanfaatkannya untuk kepentingan industri media.

Sayangnya, Lagi-lagi pada bagian ini penulis hampir tidak menyinggung soal klub-klub lokal Indonesia sebagai contoh.