Di Singapura, Ingat Malaysia dan Mimpi Indonesia Menggelar F1

By Arief Kurniawan - Minggu, 17 September 2017 | 14:00 WIB
Pemadangan sirkuit jalan raya Singapura diambil gambarnya dari udara menjelang dimulainya GP Formula 1 Singapura pada 17 September 2017. (ROSLAN RAHMAN/AFP)

April 2012 adalah kali pertama saya menulisnya, waktu itu di majalah F1 Racing Indonesia.

Lima tahun dan lima bulan kemudian saya berada di Singapura saat menuangkan tulisan ini.

Tulisan yang mengingatkan sekaligus mencoba berharap agar apa yang muncul pada bulan April 2012 itu bisa terwujud.

Akhir pekan ini, sebagian jalan raya di negeri kota Singapura ditutup. Warga tidak protes karena sudah 10 kali terjadi seperti ini.

Mereka malah senang karena itu berarti negeri mereka sedang kedatangan banyak tamu, yang hitungannya puluhan bahkan sampai ratusan ribu orang.

Tamu-tamu itu tak peduli bahwa harga-harga di Singapura menjadi lebih mahal.

Mereka datang memang untuk membelanjakan uang, untuk menonton dan merasakan sensasi balapan F1 pada malam hari, konser musik, shopping sambil liburan, dan lain-lain hal terkait ajang akbar ini.

Tentu saja karena letaknya dekat, banyak orang Indonesia yang menjadi bagian dari "festival F1" tersebut.

Apakah sebagai penonton, pelancong, pelaku bisnis, pebalap seperti Sean Gelael, atau wartawan seperti saya.

Jeda antara GP F1 Singapura dan Malaysia musim ini ada dua pekan. Tetapi, itu hanya tinggal tahun ini.

Mulai musim depan tidak berjeda karena Malaysia sudah tidak kuat lagi menjadi tuan rumah.

Mereka merasa uang yang dikeluarkan untuk menggelar F1 sejak 1999 tanpa putus tak pernah kembali sebagai keuntungan.

Keluar besar, masuknya kecil.

Seperti halnya di Singapura, balapan di Sirkuit Sepang pun butuh puluhan ribu penonton asal Indonesia untuk memenuhi tribun-tribunnya yang saban tahun menyusut dan terlihat sepi.

Mungkin tahun ini cerita bisa berbeda. Karena merupakan tahun perpisahan, bisa jadi malah ramai.

Kebetulan perburuan gelar juaranya pun sedang seru. Nah, kalau Malaysia absen, apakah Indonesia bisa menggantikannya?

Itulah harapan kita semua tentunya. Harapan berbentuk mimpi yang saya tulis di bulan April 2012 itu.

Mimpinya adalah kita punya balapan persis seperti di Singapura ini.

Balapan di jalan raya. Kalau bisa digelar malam hari juga. Arena atau sirkuitnya adalah di sekitar landmark Jakarta, Monas.

Yang saya dengar, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Sudah ada usaha ke arah sana. Bahkan, desain calon sirkuitnya sudah dibuat oleh Hermann Tilke, arsitek kepercayaan FIA dan FIM.

Masalahnya adalah kapan hal itu terwujud?

Menggantikan Malaysia langsung tahun depan tentu berat, kita tentu belum siap. Tahun 2019, 2020, 2021?

Kalau ditanya siapa yang bisa menjawab, tanyalah ke mereka yang punya uang.

Apa yang menjadi pertimbangan mereka untuk membawa F1 ke Indonesia pada tahun 2019, 2020, atau mungkin 2021?

Tanyakan juga ke pemerintah kita, sudah siap atau belum?

Takutnya, kepentingan olahraga akan kalah oleh kepentingan politik. Ujung-ujungnya, tidak jadi lagi.

Namun, saya pribadi mencoba untuk optimistis kali ini.

Kita tak boleh terus larut dalam mimpi dan malah hidup dalam kenyataan di negeri tetangga.

Saatnya gantian kita menarik puluhan ribu orang Singapura, Malaysia, atau bahkan sampai Thailand, Filipina, dan Brunei untuk meramaikan festival F1 di Jakarta.

Tahun depan adalah uji coba yang pas karena ada Asian Games.

Infrastruktur transportasi diperkirakan belum 100 persen jadi, tetapi sudah ada.

Kalau AG sukses dan hal itu harus kita wujudkan bersama, lengkap sudah persiapan kita menyambut tamu-tamu agung F1 saban tahun.

Hal itu karena transportasi publik pun akan terus membaik selepas 2018 sehingga kalau jalan raya ditutup untuk F1, penduduk tak protes.

Yakinlah, kehadiran F1, juga MotoGP suatu waktu nanti justru akan menguntungkan Indonesia dalam banyak hal.

Kalau Malaysia rugi, kita mesti sebaliknya dong.