Gaya Casual dan Trik Hooligan Lawas dalam Mengelabui Polisi

By Emier Erlanda - Selasa, 24 Oktober 2017 | 17:04 WIB
Suporter Liverpool berkumpul di Stadion Heysel, Brussels, Belgia pada laga Piala Champions antara Juventus dan Liverpool, 29 Mei 1985. Sebanyak 39 suporter Juventus meninggal menyusul keributan dengan fans Liverpool. (DOMINIQUE FAGET/AFP)

Menurut beberapa film dokumenter, sebagian besar mendapatkan barang-barang tersebut dengan cara menjarah toko, daratan inggris kaget dengan kedua kelompok supporter itu di mana mereka mengenakan brand unik yang tidak ada di inggris.

Bahkan, polisi pun saat itu tidak memperhatikan kelompok supporter dengan gaya casual berbalut brand–brand mahal. Fokus mereka mengawasi supporter skin head yang menggunakan sepatu Dr Martens.

Pada tahun 1980-an label pakaian yang dekat dengan gaya casual semakin bertambah dengan makin populernya Fila, Stone Island, Fred Perry, Kappa dan Ben Sherman di kalangan mereka.

Satu dekade kemudian, subculture casual mengalami kebangkitan, bahkan mereka menggunakan satu merk sebagai identitas klub yang mereka bela.

Pada akhir 1990-an banyak supporter mulai menarik diri dari trend casual karena polisi sudah mulai mengawasi orang–orang yang berpakaian mahal sebagai suporter sepakbola. 

Bahkan, beberapa brand menarik produk mereka karena dekat dengan gaya casual.

Memasuki tahun 2000-an trend casual mulai bangkit kembali terutama setelah program televisi di inggris seperti ID, The Firm, The Football Factory, dan Green Street menyoroti budaya casual di tanah inggris.

Kini, di era modern budaya casual tetap hidup di kalangan supporter, bahkan di Indonesia beberapa klub seperti Persija dan Persib memiliki supporter yang mengadopsi gaya ini, seperti Jakarta Casual atau Flower city casual untuk Bandung.

Sepakbola memang selalu menarik utnuk dibahas dari sisi manapun.