Menuju Piala Dunia 2018, Sebuah Impian Masa Kecil

By Ibnu Agung Mulyanto - Senin, 23 April 2018 | 21:05 WIB
Pemain Italia, Marco Tardelli, berduel dengan bek Jerman Barat, Paul Breitner, di final Piala Dunia 1982, 11 Juli 1982 di Madrid, Spanyol. (AFP PHOTO STAFF/AFP)

 Pada bulan Agustus tahun lalu, teman lama saya, Ubaidillah Nugraha atau yang biasa dipanggil Ubai mengirimkan pesan Whatsapp 'kompor'.  

Dia cerita, baru saja memesan penerbangan ke Moskow, Rusia, di bulan Juli 2018 untuk menyaksikan putaran final Piala Dunia 2018.

Apalagi, Ubai dapat penerbangan yang relatif murah. Hanya Rp5 jutaan untuk round trip ke Rusia dengan Thai Air.

“Mau ikutan?,” begitu isi pesan Ubai untuk saya. Benar-benar pesan beraroma 'kompor'.

Disebut 'kompor' karena menyaksikan pentas laga Piala Dunia secara bersama-sama sudah menjadi impian bersama saat kami berdua menjadi peserta SIF ASEAN Visiting Student Fellowship di Singapura tahun 1996.

Dulu target kami adalah menonton Piala Dunia 2006. “Masa sepuluh tahun bekerja belum bisa ke sana?,” demikian angan-angan kami.

Ternyata untuk Piala Dunia 2006, Tuhan memang belum mengizinkan.

Ubai sudah lebih beruntung daripada saya. Empat tahun lalu, dia sudah pernah merasakan atmosfer Piala Dunia di Brasil dengan menjadi reporter salah satu media olahraga Tanah Air.

Untuk saya, menuju Piala Dunia masih jadi impian yang belum terwujud sejak kecil. Sejak kecil?

Ya, bagi saya pribadi, menonton Piala Dunia secara langsung sudah menjadi cita-cita dari saat saya mengenal permainan olah kulit bulat ini.