Prancis dan Jerman Beragam demi Prestasi, Indonesia (Jangan) Terpecah karena Pilpres dan Jalan Tol!

By Andrew Sihombing - Jumat, 15 Juni 2018 | 17:32 WIB
Pesta timnas Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014 setelah mengalahkan Argentina 1-0 di partai final di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil, 13 Juli 2014. (FABRICE COFFRINI/AFP)

Kala itu, jutaan warga Prancis, tak peduli mereka yang berkulit hitam, putih, atau cokelat, berkumpul bersama merayakan keberhasilan Tim Pelangi, julukan yang diberikan kepada Les Bleus akibat keragaman skuatnya kala itu.

"Fan dan semuanya bersatu, Tak ada rasialisme, tak ada diskriminasi, semua orang berbahagia di Prancis," kenang Marcel Desailly, bek Timnas Prancis kala itu.

Asal-usul etnis para pemain di tim asuhan Aime Jaquet kala itu memang sangat beragam.

Di dalam tubuh David Trezeguet mengalir darah Argentina dari sang ayah, Zinedine Zidane yang keturanan imigram Aljazair, Robert Pires yang punya ayah orang Portugal serta beribukan perempuan Spanyol, Youri Djorkaeff merupakan keturunan Rusia-Armenia, Patrick Vieira yang asalnya dari Senegal, Desailly yang lahir dan tinggal di Ghana sebelum diboyong ke Prancis saat berusia 4 tahun oleh ayah tirinya, hingga Thierry Henry dan Lilian Thuram yang berasal dari Guadalupe.

Ketika Les Bleus mengamankan laga puncak Piala Dunia 1998 dengan kemenangan 3-0 atas Brasil, tak kurang dari 1-1,5 juta orang berkumpul di Champs-Elysees, jalanan yang terkenal sebagai kawasan belanja di Kota Paris itu.

Laki-laki, perempuan, orang tua, anak-anak, kulit putih, kulit hitam, hingga keturunan Arab berkumpul dan bergembira bersama tanpa sekat.

"Jalanan penuh, bahkan di atap-atap rumah di Arc de Trioomphe. Hitam, putih, sungguh perpaduan yang bagus, momen yang luar biasa," ujar Pires.

(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Timnas Spanyol di Fase Grup)

Timnas Prancis kala itu membuktikan betapa keragaman bisa menjadi kekuatan hebat dan bukan komoditas politik untuk memecah belah rakyat.

Saat itu, Prancis memang tengah digoyang oleh isu rasialisme setelah Jean-Marie Le Pen, politisi sayap kanan yang juga pemimpin Partai Front Nasional, mengatakan bahwa keragaman di timnas kala itu menunjukkan bahwa Les Bleus bukanlah Prancis yang sesunguhnya.