Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kubu Argentina disebut-sebut sebagai tim yang sangat lengkap.
Bintang-bintang yang berserakan di setiap lini, bermain di liga-liga top dunia. Mereka memiliki jam terbang tinggi dengan skill (ketrampilan) masing-masing pemain setingkat dewa; di bawah asuhan pelatih kawakan.
Namun, mengapa mereka terseok-seok di babak kualifikasi dan nyaris tak lolos ke Piala Dunia 2018? Lantas di babak awal Grup D, mereka dengan susah-payah menembus Dinding Es – Islandia dan hanya sanggup bermain imbang 1-1.
Apa yang kurang dari tim bertabur bintang berjuluk La Albiceleste (Putih dan Biru langit) ini? Yang kurang adalah: senyum Dewi Fortuna.
Harian The New York Times, edisi 19 Juni 2018, menulis, “Sulit untuk dipercaya, namun kenyataan memberi bukti bahwa Argentina belum memenangkan gelar besar sejak meraih Copa America di tahun 1993. Itu peristiwa 25 tahun yang lalu; artinya, negeri hebat dalam sepakbola ini, mengalami era “kekeringan” prestasi sepanjang seperempat abad lamanya.”
Berhadapan dengan Islandia yang di atas kertas dapat diatasi oleh Argentina, La Pulga Lionel Messi tampil penuh selama 90 menit, adalah pemain yang paling aktif membahayakan garda pertahanan Islandia melalui 11 tembakan ke arah gawang; dan menjadi pemain kedua dalam pertandingan, yang paling banyak melakukan sentuhan bola (115 kali) serta operan (71 kali).
Namun Messi berada di hari buruknya. Entrenador Argentina, Jorge Sampaoli, menjalankan strateginya dengan mengalirkan bola semata hanya tertuju kepada Messi. Segalanya pun berakhir hampa bagi Messi, ditambah dengan kegagalannya mengeksekusi penalti.
Peraih lima kali tropi Ballon d’Or itu dijaga ketat oleh sepuluh punggawa Islandia. Tembok Es yang amat kokoh dan tebal itu tak sanggup dibobol. Legenda bola Argentina, Diego Armando Maradona, membela Messi.
(Baca Juga: VAR di Piala Dunia 2018 Sebabkan Satu Korban, Staf Timnas Iran Dilarikan ke Rumah Sakit)
"Saya pernah gagal mengeksekusi lima penalti secara beruntun, dan saya masih Diego Armando Maradona," ujar pemenang Piala Dunia 1986 itu.
Dini hari nanti, La Albiceleste akan menghadapi penghuni puncak Grup D, Kroasia. Rekor pertemuan Kroasia - Argentina adalah 4 kali, dengan hasil Argentina menang 2 kali, Kroasia menang 1 kali dan sisanya seri. Terakhir di pertandingan persahabatan tahun 2014, Argentina menang 2-1.
Kroasia, fragmen dari Yugoslavia tahun 1991 ini, pernah mengalami zaman keemasan tatkala di Piala Dunia 1998, berhasil masuk ke semi-final dan menyingkirkan Belanda 2-1 untuk meraih posisi ketiga.
Berbekal kemenangan 2-0 atas Nigeria, Kroasia merasa berada di atas angin. Pelatih Tim Kroasia, Zlatko Dalic, mengatakan bahwa ia tak akan mengubah pola permainan saat berhadapan dengan Argentina.
“Kami menghormati semua lawan kami, apalagi Argentina,” ujar Dalic. Namun pemain tengah Mateo Kovacic “merendahkan” lawannya.
Katanya, “Argentina terlalu tergantung kepada Lionel Messi. Namun, secara keseluruhan Kroasia lebih baik. Mengapa harus takut kepada Albiceleste?”
Lanjutnya, “Seorang diri menghadapi Messi adalah sulit. Kami akan bekerja secara tim untuk mematikan-nya.” Ante Rebic, pemain sayap Kroasia, mewinganalisis bahwa 50 persen kekuatan Argentina bertumpu pada Messi, sehingga “mematikan” Messi adalah sebuah langkah strategis untuk mengatasi La Albiceleste.
(Baca Juga: Wasit Laga Portugal Vs Maroko Justru Meminta Jersey Pepe Seusai Laga)
Selain Kovacic dan Rebic, Kroasia memiliki bintang-bintang yang membanggakan dalam diri pemain Real Madrid, Luka Modric, dan Ivan Rakitic dari Barcelona.
Barisan penyerang adalah punggawa-punggawa yang menjanjikan menebar teror di wilayah demarkasi pertahanan Argentina, seperti pemain depan Juventus, Mario Mandzukic, Ivan Perisic (Inter Milan), dan Nikola Kalinic (AC Milan).
Mereka berpotensi menjadi trisula maut Kroasia. Jauh di belakang, pengawal barisan pertahanan, hadir sosok bek tangguh Liverpool, Dejan Lovren.
Dengan komposisi tim seperti itu, Kroasia akan menjadi “batu karang” yang siap menggerus Argentina, di Nizhny Novgorod Stadium, dini hari nanti.
Bagaimana nasib Argentina? Apakah laga melawan Kroasia akan berbeda dengan laga lawan Islandia? Different people find the zone in different ways (orang yang berbeda menemukan jalannya dengan cara yang berbeda), demikianlah Ken Robinson dalam bukunya The Element. Akankah Dewi Fortuna tersenyum-simpul?*