Pemilik Baru Newcastle United Dihantui Skandal Lama, Liga Inggris Kena Semprot Organisasi HAM Internasional

By Muhammad Zaki Fajrul Haq - Jumat, 8 Oktober 2021 | 17:40 WIB
Liga Inggris mendapat kritikan dari organisasi HAM internasional karena pemilik baru Newcastle United dihantui skandal lama. (TWITTER.COM/FIRST24NEWSE)

BOLASPORT.COM - Liga Inggris mendapat kritikan dari organisasi HAM internasional karena pemilik baru Newcastle United dihantui skandal lama.

Newcastle United telah secara resmi memiliki pemilik baru pada Kamis (7/10/2021) waktu setempat.

Hal tersebut dipastikan setelah pemilik lama Newcastle United, Mike Ashley, melepas sahamnya kepada Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman.

Ashley menyetujui pengambilalihan Newcastle United senilai 300 juta pounds atau sekitar Rp5,81 triliun.

Pendanaan untuk pengambilalihan Newcastle United dilakukan dengan menggunakan bujet dari program Dana Investasi Masyarakat (PIF) milik Arab Saudi.

Baca Juga: Berapa Gol yang akan Dicetak Ronaldo untuk Man United? Ini Prediksi Top Scorer Sepanjang Masa Liga Inggris

Sebelumnya, Ashley menjadi pemilik Newcastle United selama kurang lebih 14 tahun.

Akan tetapi, pengambilalihan Newcastle United oleh Mohammed bin Salman menuai banyak protes.

Salah satunya adalah dari organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional, yakni Amnesty International.

Dilansir BolaSport.com dari Marca, Amnesty International menganggap keputusan Liga Inggris untuk menerima pengambilalihan Newcastle United hal yang lucu.

Hal itu dikarenakan pemilik Newcastle United yang baru tersebut dinilai memiliki sejumlah catatan kejahatan HAM.

Baca Juga: Eks Bek Liverpool Sebut The Reds Lebih Berpeluang Juara Liga Champions Ketimbang Liga Inggris

Amnesty International juga menyebut bahwa tindakan Liga Inggris itu justru menunjukkan mereka mendukung pelanggaran HAM.

TWITTER.COM/MAILSPORT
Klub Liga Inggris, Newcastle United

"Ini menunjukkan bahwa sepak bola Inggris terbuka untuk bisnis dalam hal pencucian uang lewat olahraga oleh rezim yang kotor dari negara yang melanggar hak asasi manusia," bunyi pernyataan Amnesty International.

"Amnesty menganggap cukup konyol bahwa individu yang terlibat dalam kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan bisa, jika mereka punya kantong yang cukup dalam, membeli jalan mereka ke sepak bola papan atas Inggris," lanjut bunyi pernyataan tersebut.

Amnesty International menyoroti berbagai pelanggaran HAM yang kabarnya berhubungan dengan Mohammed bin Salman.

Salah satunya adalah dugaan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018 lalu.

Baca Juga: Man United Tak akan Juara Liga Inggris Kalau Andalkan Duet McTominay-Fred

Selain itu, masih ada dugaan perlakuan semena-mena terhadap kritikus pemerintah, pejuang hak-hak perempuan, dan pembela hak asasi manusia lainnya.

"Situasi hak asasi manusia di Arab Saudi terus mengerikan, di bawah Mohammed bin Salman, itu hanya menjadi lebih buruk," bunyi pernyataan Amnesty International.

"Kritikus pemerintah, juru kampanye hak-hak perempuan, aktivis Syiah, dan pembela hak asasi manusia secara rutin dilecehkan dan dipenjara, seringkali setelah secara terang-terangan diperlakukan tidak adil."

"Persidangan tertutup terhadap tersangka pembunuh Jamal Khashoggi secara luas dianggap sebagai bagian dari persekongkolan yang lebih luas oleh pihak berwenang."

tribunnews.com
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dilaporkan menyetujui pembunuhan Jamal Khashoggi pada tahun 2018.

"Mungkin alih-alih membiarkan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia itu membeli jalan mereka ke sepak bola Inggris, Premier Leauge harus mempertimbangkan untuk mengubah tes pemilik dan direktur mereka untuk mencegah hal semacam itu terjadi," sambung Amnesty International.

Baca Juga: Eric Dier Beri Dukungan untuk Harry Kane yang Masih Mandul di Liga Inggris

Sebelumnya, Newcastle United sebenarnya hampir saja dibeli pada tahun lalu.

Akan tetapi, permasalahan Arab Saudi dengan Qatar dalam hal pembajakan hak siar membuat pengambilalihan itu batal.

Kabarnya, Arab Saudi dan Qatar sudah bersepakat untuk menyudahi konflik dengan membayar ganti rugi sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat (sekitar Rp14,22 triliun).