Baca berita tanpa iklan. Gabung Bolasport.com+

Bulu Tangkis Indonesia - Harmoni di Istora, Ironi di Dunia Maya

By Aditya Fahmi Nurwahid - Minggu, 2 September 2018 | 18:06 WIB
Marcus Fernaldi Gideon (kiri) dan Kevin Sanjaya Sukamuljo (kanan) saat melakoni partai final bulu tangkis nomor ganda putra Asian Games 2018, Selasa (28/8/2018).
FERNANDO RANDY/TABLOID BOLA
Marcus Fernaldi Gideon (kiri) dan Kevin Sanjaya Sukamuljo (kanan) saat melakoni partai final bulu tangkis nomor ganda putra Asian Games 2018, Selasa (28/8/2018).

Bulu tangkis, seperti halnya olahraga lainnya, memang dipercaya bisa menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas.

Gagasan "menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas" bukan datang dari saya, tetapi muncul dari konsep yang diperkenalkan oleh Richard Giulianotti, seorang profesor Sosiologi dari Sekolah Olahraga dan Ilmu Kesehatan, Universitas Loughborough, Inggris.

Richard Giulianotti banyak meneliti mengenai olahraga dan beberapa kaitan dengan globalisasi serta internet-isasi. Gagasan tersebut pun muncul terlebih ketika dua hal tersebut menimbulkan dampak yang kerap bertolak belakang.

Dari tiga jurnal yang saya baca, Richard Giulianotti melihat bahwa globalisasi tak sekadar menjadi fenomena yang menghilangkan batas-batas teritorial atau seperti istilah milik Marshall McLuhan, global village.

Lebih dari itu, Gullianotti melihat globalisasi melemahkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas suatu masyarakat.

Sedangkan olahraga seperti sebuah antitesis dari globalisasi, di mana olahraga bisa malah memperkuat hubungan tiga hal tersebut.

Setidaknya, saya percaya konsep ini ketika menonton langsung pertandingan semifinal kategori perorangan bulu tangkis di ajang Asian Games 2018.

Senin, 27 Agustus 2018, saya kembali menginjak Gelora Bung Karno, sejak terakhir kali saya magang di Kompas TV pada tahun 2016, dan pertama kalinya bagi saya masuk ke dalam Istora.

Istora memang menjadi sebuah ikon tersendiri bagi dunia bulu tangkis, momok bagi banyak atlet bulu tangkis, bahkan tidak berlebihan jika predikat itu digelarkan hingga masa sekarang.

(Baca Juga: Timnas Indonesia Dominan Serangan Sayap, Adakah Senjata Simpanan Luis Milla?)

Mantan Redaktur Olahraga Harian Kompas, Jimmy S Harianto, menuliskan bahwa kondisi angker di Istora tercipta lewat atmosfernya.

"Orang boleh juara All England di Wembley Arena, London. Atau Japan Open di Yoyogi Stadium, Tokyo. Tetapi kalau belum pernah juara di Istora Senayan, ia belum dipandang publik bulu tangkis sebagai juara sejati," tulisnya dalam kolom yang diterbitkan pada 2017.

Tumbangnya juara dunia tunggal putra 2018, Kento Momota, dan juara dunia ganda putra 2018, Li Junhui/Liu Yuchen, di Asian Games 2018 oleh wakil Indonesia jelas menjadi bukti tersendiri soal angkernya Istora.

Saya yang waktu itu duduk di kursi Kategori A langsung terpana dengan suasana Istora dan para pencinta bulu tangkis Indonesia.


Pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie, berpose dengan medali emas kategori perorangan Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018). ( FERNANDO RANDY/TABLOID BOLA )

Megahnya stadion berkapasitas tujuh ribu kursi ini berkombinasi dengan meledak-ledaknya semangat para suporter di tribune, terlebih jika wakil Indonesia bermain.

Saat match pertama babak semifinal tunggal putra antara Jonatan Christie melawan Kenta Nishimoto, saya duduk empat baris di atas pendukung Pusarla Venkata Sindhu, yang juga bertanding melawan Akane Yamaguchi di court berbeda.

Saya melihat bahwa beberapa kali kelompok suporter berisi lima orang ini agak sungkan untuk berteriak memberikan semangat bagi Sindhu.

Padahal, persiapan mereka sudah cukup lengkap. Bendera India dan clapping balloon pun sudah berada di tangan.

(Baca Juga: Kebanggaan Tiada Batas di Opening Ceremony Asian Games 2018)

Hanya, teriakan "Jojo Bisa...", "Indonesia..." dan "Habisin...Habisin..." seakan tak berhenti sepanjang tiga gim laga berjalan.

Tak hanya itu, satu momen yang menggetarkan hati saya adalah saat detik-detik kekalahan Anthony Sinisuka Ginting dari wakil Taiwan, Chou Tien Chen.

Saya sendiri merasakan lolosnya dua wakil Indonesia di nomor ganda putra ke final jelas ingin disempurnakan dengan All Indonesian Final juga di nomor tunggal putra.

Setiap Anthony kehilangan poin, tak sedikit dari kami yang kecewa dan beruciap "Yah..." atau "Aduh, Ginting..." sembari harap-harap cemas.

Hasil tetap memperlihatkan bahwa langkah Anthony terhenti di capaian medali perunggu.

Namun, satu hal yang tidak saya ekspektasikan terjadi riuh di dalam stadion.

Saat Anthony bertumpu pada lututnya dan menunduk lemas, ribuan suporter Indonesia saat itu memberikan standing ovation dengan meriah.

Teriakan "Terima kasih Anthony...", "Semangat Anthony....", bersahutan. Bahkan siulan-siulan tanda apresiasi penampilan sang atlet pun terdengar.

(Baca Juga: Prancis Memindahkan Gunung, Kroasia Menemukan Serpihan yang Hilang)

Bagi saya, momen "menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas" di dalam Istora sungguh nyata.

Ribuan suporter rela antre dalam hitungan puluhan menit hingga jam demi bisa masuk, lalu tak tanya siapa di sebelahnya, mereka sama-sama satu rasa dan menyanyikan chant seirama.

Keluar dari Istora, hal berbeda justru saya ketahui dan rasakan, terlebih dengan aktivitas saya di media sosial.

Bahasan-bahasan "cari perhatian" pun muncul dan "mendapat perhatiannya" di media sosial.

Beberapa sensasi untuk merundung atlet menjadi viral, tak sedikit para netizen yang turut menghardik pelaku, seakan memberi panggung untuk "gimmick" tersebut dikenal. Atau malah berniat agar dicap heroik, kita tak tahu.

Begitupun dengan perdebatan di luar konteks keolahragaan, soal celetukan "rahim anget" yang membuat masyarakat seolah terpecah antara kubu guyonan dan kubu pelecehan.

Fenomena ini juga membuat saya belajar, bahwa apa yang dikatakan Richard Gullianotti bahwa globalisasi, juga internet-isasi, merupakan antitesis dari olahraga itu sendiri.

(Baca Juga: Membaca Mulut Indra Sjafri, Timnas U-19 Indonesia Dibentuk Tak Sekadar untuk Gelar Juara)

Bahasan-bahasan "subjektif" tersebut bahkan sempat menutupi pencapaian kolektif, saking viralnya dan banyak dibahas dengan cukup lama.

Ini yang dapat juara Indonesia lho, kok malah bahas yang lain....

Asian Games 2018, bulu tangkis, dan juga medali-medali yang dikalungkan di Istora untuk Indonesia adalah pencapaian-pencapaian semua orang.

Istora dan isinya, baik itu pelatih, atlet, staf ofisial, dan juga penontonnya bersatu untuk kebanggaan yang sama, local pride.

Penghargaan yang saya lihat di Istora, juga mungkin di berbagai venue lainnya, tak sekadar soal menang dan kalah atau duduk di kategori mahal atau murah.

Tapi bentuk usaha demi bangsa, atlet melakukan di lapangan, sedangkan suporter menjalankan tugasnya di kursi tribune.


Tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie bersama Anthony Sinisuka Ginting saat upacara pengalungan medali final perseorangan putra bulutangkis Asian Games 2018, di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018). ( http://wow.tribunnews.com )

Bukankah akhir-akhir ini kita sudah disibukkan dengan perbedaan pendapat di topik "ini-dan-itu", soal isu "ini-dan-itu"?

Bagi saya, olahraga adalah aktivitas kolektif. Meski atletnya berjuang tunggal, tapi dukungan untuknya menjadikan olahraga selalu tentang kerja sama.

Jika menang kita bergembira bersama, jika kalah kita evaluasi bersama.

Terima kasih, atlet Indonesia. Bukan karena Indonesia berada di peringkat ke-4 pada klasemen Asian Games 2018.

Lebih dari itu, terima kasih sudah menjadi pahlawan-pahlawan bangsa di masa sekarang.

Terima kasih telah menyatukan banyak dari kita yang kerap berselisih, demi menikmati penampilan kalian, demi sorak sorai atas kemenangan kalian, demi tepuk tangan kami untuk menguatkan kalian.


Editor : Dwi Widijatmiko
Sumber : BolaSport.com

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Klasemen

Klub
D
P
1
Arsenal
35
80
2
Man City
34
79
3
Liverpool
35
75
4
Aston Villa
35
67
5
Tottenham
33
60
6
Man United
34
54
7
Newcastle
34
53
8
West Ham
35
49
9
Chelsea
33
48
10
Bournemouth
35
48
Klub
D
P
1
Borneo
32
70
2
Persib
32
59
3
Bali United
33
58
4
Madura United
32
53
5
PSIS Semarang
32
50
6
Dewa United
32
50
7
Persik
33
48
8
Persis
32
47
9
Barito Putera
32
43
10
Persija Jakarta
32
42
Klub
D
P
1
Real Madrid
33
84
2
Girona
33
71
3
Barcelona
32
70
4
Atlético Madrid
33
64
5
Athletic Club
33
58
6
Real Sociedad
33
51
7
Real Betis
33
49
8
Valencia
32
47
9
Villarreal
33
45
10
Getafe
33
43
Klub
D
P
1
Inter
34
89
2
Milan
34
70
3
Juventus
34
65
4
Bologna
34
63
5
Roma
34
59
6
Atalanta
33
57
7
Lazio
34
55
8
Fiorentina
33
50
9
Napoli
34
50
10
Torino
34
46
Pos
Pembalap
Poin
1
F. Bagnaia
467
2
J. Martin
428
3
M. Bezzecchi
329
4
B. Binder
293
5
J. Zarco
225
6
A. Espargaro
206
7
M. Viñales
204
8
L. Marini
201
9
A. Marquez
177
10
F. Quartararo
172
Close Ads X