Sepak bola Belanda adalah sepak bola masa lalu.
Sampai sebelum Liga Nasional Eropa atau Liga Negara Eropa (UEFA Nations League) bergulir, sepak bola Belanda dianggap sebagai nostalgia.
Tim Oranje, julukan Belanda, tak mampu menembus putaran final dua turnamen penting dan bergengsi: Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018.
Begitu tersingkir dari kualifikasi Piala Dunia 2018, harian Britania Raya, The Guardian, menurunkan tulisan dengan judul Kualitas Tim Sepak Bola Belanda Turun: ditaklukkan oleh obsesi total masa lalu.
The Guardian membuka tulisannya dengan mengutip novel Waterford karya Graham Swift yang mengisahkan tentang seorang guru sejarah yang sedang mengalami krisis paruh baya.
Guru sejarah itu berkata, “Tatkala sejarah tidak melemahkan dan memasang perangkap untuk dirinya sendiri dengan cara yang amat buruk seperti itu, maka tercipta kerinduan tersembunyi untuk kembali ke masa lalu."
"Betapa kita ingin kembali ke masa itu sebelum sejarah menggerus kita, sebelum segala sesuatunya berjalan ke arah yang salah….”
Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Belanda akibat buruknya performa Tim Oranje membuat warga Belanda dan fansnya mengatasi kekecewaan dengan cara “membanjiri angan-angannya” atas kenangan atau nostalgia tentang kejayaan tim Belanda di masa lalu.
Sebab, untuk apa berharap pada tim yang hanya menghadirkan kekecewaan dan ketiadaan.
Mari bernostalgia dan menelusuri lorong waktu tentang kedigdayaan di masa lalu.
Tanggal 7 Juli 1974 adalah hari yang tak akan pernah pupus dari ingatan fans Tim Oranje.
Saat itu, dua tim superior dan tim terbaik dunia pada 1970-an saling bertemu dalam laga final Piala Dunia 1974 yang disaksikan jutaan pasang mata melalui layar kaca.
Tidak ada yang tahu tim mana kala itu yang akan menjadi juara.
Kedua tim punya keuntungan masing-masing.
Jerman Barat adalah juara bertahan Piala Eropa dan sedang menikmati keuntungan tidak langsung sebagai tuan rumah; sedangkan di pihak lain, Belanda adalah tim yang superior.
Laga ini dikenal sebagai pertempuran bola dengan persaingan yang paling intens, dan sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu final paling berkualitas dan menarik dalam sejarah Piala Dunia.
Bagi Belanda, final ini akan selalu dikenang sebagai sebuah pemakaman untuk Total Football.
Visi Rinus Michels, arsitek Total Football, adalah menangkap imajinasi jutaan pencinta sepak bola dunia, namun akhirnya mesti berujung dengan patah hati karena Tim Oranje gagal mendapatkan trofi.
Belanda akhirnya harus mengakui keunggulan Jerman Barat dengan skor 2-1, sebuah laga yang juga dimateraikan sebagai "Kematian Total Football" oleh banyak orang.
Meski kalah, keindahan Total Football yang didemonstrasikan oleh pasukan Rinus Michels di Olympiastadion, Muenchen, membuat para penggemar bola sejagat mengenang Johann Neskens, Johan Cruyff, Johnny Rep, dan kawan-kawan sebagai juara tanpa mahkota.
Saat kembali ke Belanda, Rinus Michels dan para pemainnya disambut laksana pahlawan sesaat setelah mendarat di Bandara Schiphol , Amsterdam.
Ratu Juliana menyambut mereka dalam perjamuan di Royal Palace.
Sepak bola Belanda telah menyaksikan kelahiran dan kehadiran empat generasi pemain berbakat, mulai dari Johan Cruyff dan Van Hanegem di tahun 1970-an; Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten, serta Ronald Koeman tahun 1980-an; Dennis Bergkamp tahun 1990-an, serta para seniman bola kelahiran tahun 1983-1984 yang dipimpin oleh oleh Arjen Robben dan Wesley Sneijder.
Setelah itu Tim Oranje tenggelam, bahkan terbenam ke dasar jurang.
Di tengah skeptisisme seperti itulah, adalah sebuah kejutan tatkala Tim Oranje masa kini di bawah asuhan Ronald Koeman menghentak Benua Biru Eropa dengan prestasi yang luar biasa.
Di Liga Nasional Eropa, Belanda membenamkan musuh bebuyutan, Jerman, juara Piala Dunia 2014, dengan skor telak 3-0, dan menghajar Prancis, juara Piala Dunia 2018, dengan skor 2-0.
Tim Oranje mendepak Jerman degradasi ke Liga B.
Rahasia Koeman
Pada Selasa (20/11/2018) dini hari yang lalu, Belanda kembali menghadapi Jerman yang menjadi tuan rumah di Stadion Veltins Arena, Gelsenkirchen.
Ronald Koeman memasang formasi 4-2-3-1, sama seperti ketika mengalahkan Prancis.
Belum sampai 20 menit laga bergulir, Belanda sudah dihajar Jerman 2-0.
Gol balasan Belanda melalui Quincy Promes tak akan cukup untuk meloloskan Belanda ke semifinal, sebab Jerman tetap unggul 2-1.
Tanda-tanda Belanda akan kalah semakin jelas ketika laga sudah hampir 90 menit.
Lalu, keluarlah "surat rahasia" dari tangan Ronald Koeman.
Ronald Koeman menyerahkan surat itu kepada bek Kenny Tete, yang segera menyampaikannya kepada kapten tim, Virgil van Dijk.
Keajaiban terjadi.
Begitu membaca tulisan di atas kertas putih itu, tak lama kemudian Van Dijk, bek Liverpool, mencetak gol penyama kedudukan pada menit ke-90, gol yang dibutuhkan untuk membawa Tim Oranje ke semifinal.
Apa gerangan isi kertas rahasia itu?
Isinya adalah formasi 4-2-3-1 diganti menjadi 3-2-3-2.
Van Dijk yang menjadi bek tengah diperintahkan untuk menjadi striker.
Ternyata strategi itu berhasil.
Sekarang fans Belanda sedang dalam euforia.
Mereka tak perlu lagi bernostalgia, tak perlu lagi berangan-angan, karena Tim Oranje telah menunjukkan taringnya dengan menyingkirkan dua pemegang Piala Dunia.
Tatkala Prancis menyerah 0-2 kepada Tim Oranje, koran Belanda Algemeen Dagblad dengan bangga menulis Het werd een mooie avond (Ini sungguh malam yang indah).
Penyair Inggris John Keats bersabda, “Sesuatu yang indah adalah keceriaan abadi (a thing of beauty is a joy forever).”
*Penulis adalah penikmat bola.
Editor | : | Taufik Batubara |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar