Mengenang Kepergian Choirul Huda dan Menyelami Prinsip Makna Kesetiaan

By Ramaditya Domas Hariputro - Rabu, 18 Oktober 2017 | 11:42 WIB
Kiper Persela, Choirul Huda, beraksi pada laga Liga 1 kontra Arema FC di Stadion Surajaya, Lamongan, pada 21 Mei 2017. (SUCI RAHAYU/BOLASPORT.COM)

Saya akhirnya bertolak menuju Gajayana demi bisa menyaksikan Choirul Huda berlatih secara langsung, melalui jarak yang lebih dekat.

Kepergian saya ke Stadion Gajayana hanya untuk mewujudkan satu misi; menyandingkan rupa saya dengan sang legenda Surajaya.

Namun nahas, seusai sesi latihan, tekad yang sudah bulat untuk bisa berswafoto bersama Choirul Huda harus dikandaskan oleh salah satu ofisial tim.

Jelasnya, sebelum terbantah, sembari tersenyum, Choirul Huda sempat mengiyakan dirinya untuk meminang permintaan saya demi mengambil gambar.

Namun sebelum itu, saya lebih dulu sempat mendapat jabatan tangan Huda. Dekapan keras, ayunan tegas, membuat momen tesebut tak kunjung musnah dalam benak.

Akan tetapi, setidaknya saya patut berangga diri. Saya layak menjadi salah satu orang yang paling beruntung; pernah berjabat tangan dengan pesepak bola fenomenal, pemain yang hanya membela satu klub sepanjang hayat.

Mengawali karier di kancah sepak bola profesional bersama Persela Lamongan pada 1999, Choirul Huda menjelma sebagai kiper fenomenal.

Aksi gemilang, loncatan indah, dan tepisan maut kerap ia pertontonkan kala menjaga mistar Laskar Joko Tingkir. Nama Huda selalu dipercaya oleh siapapun juru racik Persela.

Kesetiaannya bersama Persela tak bisa diragukan. Jika harus diadakan polling, nama Huda saya yakin menjadi pemain urutan pertama dalam hal kesetiaan kepada klub.

Bayangkan, apapun keadaannya, bagaimanapun kondisinya, Persela yang seakan tak bersahabat dengan predikat tim besar masih saja ia pertahankan dalam kariernya.