Mengenang Kepergian Choirul Huda dan Menyelami Prinsip Makna Kesetiaan

By Ramaditya Domas Hariputro - Rabu, 18 Oktober 2017 | 11:42 WIB
Kiper Persela, Choirul Huda, beraksi pada laga Liga 1 kontra Arema FC di Stadion Surajaya, Lamongan, pada 21 Mei 2017. (SUCI RAHAYU/BOLASPORT.COM)

Mulanya, saya sendiri bingung, mengapa Huda begitu nyaman dengan stagnasi yang dialami. Bersama Persela, tak satu pun trofi Liga Indonesia yang berhasil ia rengkuh.

Harusnya, jika menerima pinangan klub besar, mungkin nasibnya lebih mujur.

Namun baginya, gelar dan piala tak bermakna apapun ketika kebanggaan bernama Persela sudah tak lagi melilit badannya.

Akibat buah cintanya kepada klub kebanggaan arek-arek Lamongan, Bupati Lamongan, Fadeli, lantas memberikan anugerah kepada Choirul Huda untuk diangkat menjadi PNS.

"Karena kesetiaan dan totalitasnya pada Lamongan, kami sepakat menjadikan beliau sebagai pegawai di Lamongan. Dedikasinya saat itu hingga saat ini yang tidak dapat dilupakan," ujar Fadeli seperti dilansir dari Surya.co.id.

Huda bertugas sebagai PNS di lingkungan Dinas Parpora Pemkab Lamongan sejak 2002. Hingga sebelum Huda meninggal, ia tercatat sebagai pegawai PNS golongan IIC.

Mantan nakhoda Choirul Huda, Didik Ludianto, sempat menegaskan bahwa keberadaan Huda bersama Persela dan Lamongan sudah tak mungkin dipisahkan.

"Huda adalah aset berharga dan ia sudah menjadi maskot di Persela. Dia adalah putra daerah terbaik yang pernah kami miliki," ucap Didik Ludiyanto dilansir dari Tribunnews.com.

Bagi Choirul Huda, mengawal Persela hingga ajal menjemputnya adalah suatu angan yang digenggam sejak masa balita. Lamongan adalah kota kelahirannya.

Meski kecil, baginya Lamongan adalah surga impian yang jauh mentereng dibanding kota berkaliber Surabaya, bahkan kota metropolitan macam Jakarta sekalipun.