Sepak Bola Kita, Pilkada, dan Piala Dunia

By Weshley Hutagalung - Sabtu, 9 Desember 2017 | 19:08 WIB
Zabivaka, maskot Piala Dunia 2018 menghadiri peresmian poster resmi 2018 FIFA World Cup di Krasnaya Presnya Metro Depot, Moskow, Rusia, pada 28 November 2017. (MLADEN ANTONOV/AFP)

Bahasa lainnya, seberapa banyak dan seberapa sering muka-muka peserta Pilkada menghiasi program dan tayangan Piala Dunia 2018?

Saran saya: nanti jangan bosan, ya!

Dalam pertemuan terakhir dengan Moises di sebuah pusat perbelanjaan di tengah Kota Jakarta, kami meninggalkan meja di sebuah restoran dengan melanjutkan perbincangan yang hangat.

Sambil tak henti-hentinya mengagumi kemewahan penampilan gedung yang kami masuki, ia menyentil kemauan masyarakat sepak bola Indonesia.

Begini katanya, “Inilah mall termewah yang pernah saya kunjungi. Saya sudah pernah mampir di berbagai kota Eropa, Amerika, dan Asia. Namun, mall ini sungguh mewah dan terkesan mahal.”

Perbincangan berlanjut. Bila bangsa Indonesia ia sebut sangat serius dan mampu membangun gedung-gedung indah serta mewah, apakah kita juga serius membangun sepak bola di dalam negeri untuk bisa berprestasi?

Tugas itu tak hanya milik federasi sepak bola Indonesia alias PSSI, dan seluruh orang yang bekerja di dalamnya. Tugas itu juga milik kita semua. 

Setiap kita punya peran, baik besar atau kecil, yang dapat membantu mewujudkan atmosfir dan budaya olahraga (sepak bola) di tengah-tengah kita.

Termasuk pelaku aktif, baik itu pengurus, pelatih, dan pemain dalam sebuah klub, hingga penonton.

(Baca Juga: Starting XI Pemain Kesayangan Cristiano Ronaldo)

Contoh paling gampang diingat adalah regulasi kompetisi dan kedisiplinan kita dalam menjalaninya.

Plus, menghindari gaya sepak bola “tebang kayu”. Bahwa yang ditendang itu adalah bola, bukan kaki apalagi kepala lawan.

Setiap pesepak bola sudah sepantasnya menghargai profesi yang mereka jalani dengan tidak berusaha merusak karier lawan lewat pelanggaran-pelanggaran yang mengerikan dan terkesan tak peduli nasib orang lain. Setuju?