informatif saat ini.
Orde Media dalam perspektif pendidikan politik bersalah atas ketiadaan suplai informasi pemirsa selaku warga negara.
Sebaliknya, mereka bertanggung jawab atas “keterbuaian” khalayak akan renik hiburan bernada hedonis yang menjalar melalui konten-konten megah di jam prime-time.
Pemisahan peran televisi sebagai sarana pendewasaan politik dan sebagai sarana hiburan khalayak nyatanya tidak terjadi.
Justru realita yang ada saat ini ialah pertautan dua fungsi yang sebetulnya bertolak belakang tersebut, sehingga muncul istilah politainment.
Terminologi tersebut merupakan jurnalisme yang dihadirkan bukan lagi mengenai edukasi politik, tetapi malah (aktor-aktor) politik itu sendiri yang dikemas (oleh media) layaknya menyaji konten entertainment.
Dampak dari berbaurnya dua “organ” yang sama sekali berbeda—politik dan hiburan- ini hanya akan memberikan keuntungan kapital untuk “Orde Media” sebagaimana disebut di awal tulisan.
Apa yang disuarakan para pengamat media di atas sejatinya sedang diderita juga oleh kita: suporter sepak bola.
Gempita sepak bola nasional memang seyogianya “difasilitasi” dengan menyiarkannya ke seluruh negeri, di antaranya melalui kontrak penyiaran dengan stasiun televisi (baca: Orde Media).
Hadapi Persipura, Arema FC Lupakan Catatan Buruk Awal Musim 2018 https://t.co/kSnmxJJ8K4
— BolaSport.com (@BolaSportcom) April 26, 2018
Meski begitu, tetap saja ada harga yang harus dibayar. Anthony Sutton, pemerhati sepak bola Asia Tenggara, bahkan menyebut industri televisi Liga Inggris telah menghilangkan esensi olahraga dalam permainan terbesar umat manusia itu.