Dieksploitasi Televisi? Lebih Baik Aku Mati Saja

By Kamis, 26 April 2018 | 18:23 WIB
Kapten Liverpool, Steven Gerrard, mencium kamera televisi setelah mencetak gol kedua timya kontra Manchester United di laga Liga Inggris yang bergulir di Stadion Old Trafford, Manchester, pada 16 Maret 2014. (PAUL ELLIS/AFP)

Ia menyebut, sepak bola telah terdisrupsi semenjak “ditemukan” konglomerat media.

Dalam tataran lokal, praktik industrialisasi sepak bola Indonesia memang mengharuskan pelibatan media.

Penggemar tidak lagi mesti menyisihkan tenaga untuk menjejak lanskap besar bernama stadion, melainkan cukup menaruh pantat di depan kubus kecil ditemani sejawat.

Terminologi supporter layar kaca muncul setidaknya karena penggemar merasa apa yang disajikan di televisi ialah “apa yang sebenarnya terjadi” di lapangan. 

(Baca Juga: Perubahan Jadwal Persija Vs Persib Dapat Melanggar Regulasi Liga 1 2018)

Dalam banyak hal, anggapan ini bisa sangat salah. Bila politainment membias kesadaran politik dengan kaca hiburan, maka istilah bolatainment bisa diajukan untuk menyebut simbiosis parasitisme antara media dengan sepak bola.

Sepak bola (dan olahraga pada umumnya) memang tidak pernah terlepas dari para penggelar (jasa) hiburan. Stadion-stadion besar di masa Romawi kuno dibangun bukan untuk dibiarkan melompong belaka.

Sepak bola juga tidak diciptakan hanya untuk 22 penganggur saja. Ia dihelat dan disuguhkan agar khalayak dapat turut membagi emosi dan merasakan sensasi di luar lapangan.

Namun, perlu dicatat, pengertian hiburan dalam konteks ini berbeda dengan implementasi “hibur-menghibur” dengan tajuk industrialisasi.


Sebuah kamera televisi menempel ke kepala pelatih Manchester United, Jose Mourinho, jelang laga Manchester City kontra Man United pada ajang Liga Inggris di Stadion Etihad, Manchester, 27 April 2017.(OLI SCARFF/AFP)