Lionel Messi, Argentina, dan Misteri di Tepi Jurang

By Willy Kumurur - Senin, 25 Juni 2018 | 21:15 WIB
Ekspresi megabintang Argentina, Lionel Messi, seusai laga Grup D Piala Dunia 2018 kontra Islandia di Spartak Stadium, Moskow, Rusia pada 16 Juni 2018. ( JUAN MABROMATA/AFP )

Bagaimana rasanya menjadi Lionel Messi saat ini, ketika mengetahui bahwa pada akhirnya ia sampai di pengujung? 

Rasa sakit, sakit hati, stres, amarah, frustrasi, keceriaan, harapan, suka cita, kebanggaan.

Inilah semua emosi yang mengalir melalui tubuh Lionel Messi setiap kali ia menarik seragam putih dan biru langit Argentina di atas kepalanya. Demikian tulis kolumnis Deadspin, Billy Haisley.

Pada saat-saat seperti ini, Lionel Messi harus menghadapi tekanan internal dan eksternal untuk meraih Piala Dunia bagi Argentina.

Sesudah laga melawan Kroasia, Messi tak ikut kawan-kawannya yang ramai-ramai menghibur diri di sebuah cafe.

Ia mengurung diri di kamarnya. Sendirian. Terpencil dalam keterasingan yang nyeri.

(Baca Juga: Beda Gestur Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo Saat Menyanyikan Lagu Kebangsaan)

Bait ketiga dari sajak Friedrich Nietzsche, penyair dan filsuf Jerman, berjudul “Kesepian” menuturkan: Dunia itu pintu gerbang, ke seribu gurun bisu dan dingin, yang kehilangan, yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.

Usai pertempuran melawan Kroasia, pelatih Argentina, Jorge Sampaoli, dikepung dan diserbu para jurnalis.