Beda Romelu Lukaku Versi Inter Milan dan Chelsea, Saat Isi Kepala dan Tubuh Tak Sinkron Lagi

By Beri Bagja - Kamis, 30 Juni 2022 | 19:40 WIB
Romelu Lukaku dalam sesi latihan Inter Milan jelang duel kontra AC Milan di San Siro (21/2/2021). (MIGUEL MEDINA/AFP)

BOLASPORT.COM - Romelu Lukaku resmi kembali ke Inter Milan setelah menjalani musim tak menyenangkan di Chelsea. Semusim bersama The Blues, isi kepala dan tubuhnya seperti tak sinkron sehingga berujung penampilan jauh di bawah ekspektasi.

Kurang adil rasanya menilai kegagalan Romelu Lukaku sekadar dari catatan gol maupun assist.

Di atas papan data, Big Rom memang cuma menceploskan 15 gol dalam 44 penampilan untuk Chelsea di semua ajang.

Angkanya mengkerut jadi hanya 8 gol di Liga Inggris 2021-2022, zero assist.

Bandingkan dengan rapornya di musim terakhir bareng Inter Milan dengan 30 gol dari 44 gim total, atau 24 butir dan 9 assist dari 36 partai Liga Italia 2020-2021.

Dilihat dari segi angka keterlibatan gol maupun rasionya, Romelu Lukaku versi Chelsea tetap kalah jauh.

Pun kalau membandingkan rataan tembakan di Chelsea (1,7 per laga) dan musim terakhir untuk Inter (2,7), sampai angka konversi peluang (19% versus 25%).

Kalau mau lebih detail, ambil sampel data xG atau expected goals untuk memahami benarkah separah itu Lukaku sampai golnya sedikit banget.

Baca Juga: RESMI - Romelu Lukaku Kembali ke Pelukan Inter Milan, Dipinjam dari Chelsea Selama 1 Musim

Uniknya, data di Understat menunjukkan angka harapan gol dan realisasinya justru tipis marginnya.

Bersama Chelsea, nilai xG miliknya 7,02 berbanding 8 gol yang lahir, sedangkan di Inter Milan 23,43 berbanding 24 gol.

Artinya, kalau hanya mengukur tingkat pemanfaatan peluang dengan jumlah gol yang lahir, sebenarnya tiada masalah berarti soal kualitas efisiensi Lukaku.

Dia bisa jadi tak seburuk yang digembar-gemborkan media, dan kalaupun jeblok, pasti ada hal yang membuat kinerjanya menukik jauh.

Masalahnya ada di kuantitas peluang dan interaksi dengan permainan yang tidak sebanyak waktu di Inter Milan.

Hal ini erat dengan pemadanan strategi, dan jangan abaikan pula perbedaan gaya defensif di kedua liga.

Di Inter, dia terbiasa bermain dalam pola dua striker dengan pakem 3-5-2 bersama Lautaro Martinez, atau kalaupun Lautaro absen, ada Alexis Sanchez.

TWITTER.COM/INTER_EN
Dua striker Inter Milan, Lautaro Martinez dan Romelu Lukaku, melakukan selebrasi berpelukan dalam laga Liga Italia kontra AC Milan di Stadion San Siro, Minggu (21/2/2021).

Di Chelsea tidak begitu karena Thomas Tuchel "memaksanya" beradaptasi sebagai penyerang tunggal dalam pola 3-4-3 atau 4-3-3, ditemani dua wide-forward.

Otomatis dari yang biasanya banyak terlibat tek-tok sesama striker, Lukaku sering terisolasi di depan.

Di Chelsea dia pun bukan bintang utama. Lukaku harus tunduk pada sistem.

Susahnya, awak lain The Blues bahkan pelatihnya sendiri, seperti tak mau mengajak Lukaku masuk ke dalam sistem mereka.

Baca Juga: Bukan Nomor 9, Romelu Lukaku Pilih Kenakan Kostum 90 di Inter Milan

"Kalau jadi Lukaku, saya akan gila. (Saya akan bilang) Berikan saya bola, berikan umpan silang, mainkan dengan kekuatan saya," ujar eks defender jagoan timnas Inggris, Rio Ferdinand, menilai Tuchel dan pasukannya berandil besar terhadap kinerja buruk Lukaku.

Sementara di Inter Milan, sistem-lah yang seolah dibentuk buat mengakomodasi Lukaku.

Makanya, dia benar-benar ibarat raja. Semua pemain mengumpan kepadanya, menciptakan peluang, dan menggali ruang untuknya.

Ini jelas bukan berarti strategi Chelsea lebih buruk dari Inter, ataupun sebaliknya.

Hanya, ini jadi bukti ada pemain yang memang cocok dengan sistem tertentu, dan tidak kompatibel dengan sistem yang lain. Dia ibarat ikan besar di kolam yang salah.

Dari heatmap di bawah bisa diamati pergerakan Lukaku saat membela Inter Milan di musim terakhirnya (kiri) dengan ketika memperkuat Chelsea (kanan).

SOFASCORE.COM
Komparasi heatmap Romelu Lukaku saat di Inter Milan 2020-2021 (kiri) dan Chelsea 2021-2022.

Di Inter, Big Rom memiliki daya jelajah lebih luas untuk menguasai half-space, di mana dia kerap bertukar operan dengan Achraf Hakimi atau Nicolo Barella, selain Lautaro di seputar kotak.

Nerazzurri tidak memakai sistem wide-forward, sehingga Lukaku nyaman di habitatnya pada sisi kanan penyerangan.

Dari sanalah posisi favoritnya membuka ruang, mengecoh lawan guna mengubah sudut tembak, dan melepaskan tendangan dengan kaki dominannya, kiri. Wajar kalau 16 dari 24 golnya lahir via kaki kiri.

Mobilitasnya mengangkut bola di area sepertiga akhir juga efektif karena data Opta memperlihatkan aksi-aksi Lukaku sering berujung penciptaan peluang berfaedah.

Giringan bola Lukaku di zona penguasaan lawan banyak yang berujung tembakan, assist, maupun golnya sendiri.

OPTA ANALYST

Di sini peran Big Rom bukan sekadar target man lagi, melainkan bergantian pula menjadi kreator peluang buat rekan, makanya jumlah assist Lukaku bisa mencapai dua digit.

Hal berbeda terlihat dari peta pergerakannya di Chelsea.

Peran bomber 29 tahun itu terbatas sebagai penyerang utama sejati, dengan tugas kreasi peluang lebih diemban Kai Havertz, Mason Mount, atau Hakim Ziyech hingga Callum Hudson-Odoi.

Heatmap miliknya dominan tampak di dalam kotak penalti, di mana seharusnya dia mendapatkan pasokan lezat dari crossing-crossing dua wingback.

Yang menarik, Lukaku juga sering beredar di tengah lapangan untuk menjemput bola sendiri jauh ke dalam, ataupun menjadi dinding pantul buat membuka ruang bagi Havertz atau Werner yang kerap menusuk bergantian.

Cuma, aksinya membawa bola ke pertahanan musuh juga sedikit yang berujung peluang, tanpa satu pun gol maupun assist.

OPTA ANALYST

Adaptasi strategi ini tidak bisa diterima secara kilat oleh Lukaku, apalagi dipersulit faktor gangguan fisik serta relasi buruk dengan pelatih dan harmoni skuad yang labil.

Sebenarnya start Lukaku mulus dengan ukiran 3 gol dalam 3 partai awal Liga Inggris.

Namun, cedera memaksanya absen mulai laga vs Norwich dan harus melewatkan 5 minggu.

Setelah melahap masa pemulihan, momen comeback-nya langsung dihajar Covid-19 hingga absen lagi dua pekan.

Sembuh dari virus, Lukaku kembali menunjukkan tanda-tanda subur dengan mencetak gol beruntun dalam 2 partai.

Eh, tak lama terbitlah momen penghambat lain: interviu kontroversial dengan Sky Sport Italia sekitar Tahun Baru.

Baca Juga: Disebut Tuchel sebagai Anak Conte, Lukaku Ngambek Tinggalkan Chelsea

Sikapnya mengkritik strategi pelatih serta blak-blakan mengaku ingin pulang ke Inter bikin hubungannya dengan Tuchel memburuk.

Dia dicoret untuk duel kontra Liverpool. Sejak itu, kondisi psikologis Lukaku dan kohesi dengan rekan setimnya kelihatan terimbas. Dia tidak lagi sepenting itu.

Mulailah kekeringan gol melanda Lukaku dalam 10 penampilan beruntun di liga.

Pada titik ini, isi kepala Lukaku barangkali sudah ada di San Siro. Memperkuat Chelsea seperti bukan fokusnya lagi. 

Paceklik memang berakhir dengan ukiran 3 gol dalam 3 penampilan terakhir musim kemarin.

Toh, gejala kebangkitan di etape penutup tak cukup meyakinkan Chelsea buat mempertahankannya maupun meneguhkan Lukaku sendiri untuk tinggal.

Kini Inter Milan menanti ikrar si anak hilang buat memulihkan ketajaman saat bermain dalam sistem yang kurang lebih sama di bawah asuhan Simone Inzaghi, penerus Antonio Conte.

"Untuk itulah saya di sini. Saya menepati janji," katanya saat ditanya Steven Zhang, apakah dia akan mencetak banyak gol lagi buat Inter.