Kualat, Italia Memang Lebih Baik Batal ke Piala Dunia 2018

By Beri Bagja - Selasa, 14 November 2017 | 22:36 WIB
Ekspresi wajah pelatih timnas Italia, Gian Piero Ventura, dalam pertandingan uji coba melawan Prancis di Stadion San Nicola, Bari, 1 September 2016. (ALBERTO PIZZOLI / AFP)

Kesalahan besar saya ialah memublikasikan tulisan ini setelah timnas Italia dipastikan gagal ke putaran final Piala Dunia 2018.

Padahal, andai lebih cepat 1-2 hari saja, mungkin daya tarik artikel bisa lebih nendang. Mungkin.

Awal prediksi kegagalan timnas Italia bisa ditelusuri melalui tulisan ini, sesuai pola yang ternyata menjadi tradisi.

Sebelum Swedia menikung Italia dalam belokan terakhir ke Rusia 2018, trio Belgia, Swiss, dan Slovenia lebih dulu menunjukkan betapa dahsyat efek kemenangan tanpa kebobolan di kandang.

Tiga tim tersebut lolos ke Piala Dunia dengan modal keunggulan disertai rapor clean-sheet saat menjadi tuan rumah tahap play-off.


Striker timnas Italia, Ciro Immobile, meratapi hasil imbang 0-0 dengan Swedia pada partai kedua play-off Kualifikasi Piala Dunia 2018 di Stadion Giuseppe MEazza, Selasa (14/11/2017) dini hari WIB.(MIGUEL MEDINA/AFP)

Belgia melakukannya kala menghadapi Belanda (play-off Piala Dunia 1986; 1-0, 1-2), Swiss saat jumpa Turki (2006; 2-0, 2-4), dan Slovenia ketika menendang Rusia (2010; 1-2, 1-0).

Swedia meneruskan jejak itu dengan memetik kemenangan 1-0 atas Italia pada leg 1 di Solna dan menahan mereka di Milan 0-0, Senin (13/11/2017).

(Baca Juga: Hasil dan Jadwal Play-off Interkontinental Piala Dunia 2018, Ada yang Tempuh Jarak 10.000
Kilometer)

Boleh jadi rumusan ini cuma kebetulan karena mayoritas publik Negeri Piza menunjuk batang hidung pelatih Gian Piero Ventura sebagai musabab kegagalan Italia, bukan menyalahkan tradisi.

Pelatih berusia 69 tahun itu dihujat karena ide yang melempem, miskin kreasi taktik, hingga minus mental juara.

Mungkin banyak yang bilang Ventura kualat lantaran menafikan wejangan Arrigo Sacchi, juga saran dari berbagai pihak soal pilihan formasi Gli Azzurri kontra Swedia.

Meski cuma lebih tua dua tahun dari Ventura, Sacchi sudah dianggap godfather sepak bola Italia.

Saat memosisikan dirinya sebagai Ventura, Sacchi bilang kalau dia akan memainkan 4-3-3 ketika bertandang ke Solna dengan lini depan berisi Antonio Candreva, Ciro Immobile, dan Lorenzo Insigne.

"Tapi sepertinya Ventura akan memakai 3-5-2 dengan Immobile dan Andrea Belotti di lini depan," ucap pemberi 8 gelar buat AC Milan pada era 1980-an akhir dan 1990-an awal, dikutip BolaSport.com dari Corriere dello Sport.

Sang dedengkot benar. Ventura memasang 3-5-2 lagi sebagai pakem mula. Insigne baru turun seperempat jam terakhir.

Ventura juga tak mendengarkan saran Corriere dello Sport, yang memajang kalimat "giochiamola cosi" (mari bermain seperti ini) dengan prediksi bagan 4-3-3 jelang lawatan ke Solna.

(Baca Juga: Tak Diturunkannya Pemain Ini Dianggap Sebagai Biang Keladi Gagalnya Italia ke Piala Dunia 2018)

Bahkan, legenda timnas, Andrea Pirlo, ikut menyodorkan skema yang sama demi memfasilitasi daya ledak Insigne.

Apa daya karena keputusan berada di tangan Ventura.

Pria pantai asal Liguria itu keukeuh mencomot 3-5-2 lagi pada leg kedua. Hasilnya kita sudah ketahui.

Ventura dituding melakukan dosa lebih besar dengan memaku Insigne di bangku cadangan sepanjang duel di Milan.

Penyerang sayap Napoli itu padahal diharapkan memberi percikan kreativitas dari sisi ofensif lapangan.

Dia digadang-gadang bakal vital sebagai pembeda karena ramuan duet penyerang tengah tipikal nomor sembilan (Belotti-Immobile, Gabbiadini-Immobile) terbukti tak padu.


Prediksi formasi timnas Italia yang diharapkan Corriere dello Sport untuk menghadapi Swedia di Friends Arena, Solna, 10 November 2017.(DOK CORRIERE DELLO SPORT)

Sebagai pihak yang mencoba netral, tetap saja pegal rasanya menyimak skema monoton ala Ventura sepanjang kualifikasi.

Menghadapi lawan ofensif penuh fantasi seperti Spanyol, dia malah pakai 4-2-4. Azzurri dihajar 0-3.

Terbukti kualitas Marco Verratti dan Daniele De Rossi di pos gelandang tak cukup menangkal serbuan pemain kreatif Spanyol.

Tiada lagi playmaker sekaliber Pirlo, petarung setangguh Gennaro Gattuso, atau gelandang selengkap De Rossi waktu muda.

Gap pemain senior dan pemain muda di skuat Azzurri kini terlalu jauh.

Gigi Buffon, Andrea Barzagli, atau De Rossi merupakan bagian kerangka skuat juara dunia 2006 yang masih tersisa.

Gianluigi Donnarumma, Leonardo Spinazzola, Federico Bernardeschi, atau Lorenzo Pellegrini tak layak mendapat jatah di tim utama. Setidaknya belum.

Ada celah satu generasi yang hilang di antara dua angkatan tersebut.

Mungkin seharusnya gap kekosongan itu diisi generasi Mattia Perin, Mario Balotelli, Mattia De Sciglio, atau Fabio Borini, mereka yang kini berusia 25-29 tahun.

Hanya, berbagai faktor seperti lambatnya regenerasi hingga inkonsistensi performa menghapus peluang mereka mengisi celah tersebut.

Toh, tak adil juga menyalahkan Ventura seorang. Kalau mau objektif, harusnya publik calcio menerima kegagalan Italia lolos ke Piala Dunia 2018 sebagai konsekuensi menunjuk dia. Lho? 

Ibaratnya saat masuk ke kolam renang, Anda harus siap basah. Kalau tak mau basah, ya jangan berenang lah.

Jadi, kalau pilih Ventura, ya harus siap menghadapi realitas seperti sekarang. Ini menurut saya.

Walau dianggap guru oleh beberapa pelatih lokal, mantan gelandang Sampdoria ini kelihatannya tak cocok meramu skuat untuk menjadi juara.

Lihat saja CV-nya. Ulet melatih selama empat dekade, tak satu pun gelar dan klub top tercantum dalam riwayat hidup pekerjaannya.

Tugas Ventura lebih sebagai peletak fondasi. Dia lebih fasih memoles pemain muda menjadi matang, pemain biasa saja menjadi bintang, atau tim medioker jadi kuda hitam.

Pada level tim, hal itu yang dia tunjukkan bersama Lecce, Bari, sampai Torino.

Secara individu, Ventura berjasa meroketkan Luciano Spalletti sebagai pemain di Entella pada 1980-an, sampai Leo Bonucci-Andrea Ranocchia dan Immobile-Alessio Cerci pada era kekinian.

(Baca Juga: 5 Alasan Timnas Italia Pilih Giampiero Ventura sebagai Pelatih)

Filosofi Ventura yang lebih condong sebagai pembangun fondasi tampak pada fakta ada 12 nama yang melakukan debut partai resmi bareng Gli Azzurri di bawah kendalinya pasca-Piala Eropa 2016.

Apes baginya, tak cukup mendirikan candi dalam semalam.

Waktu setahun tak memadai untuk meletakkan bata fondasi hingga menyelesaikan bangunan utuh timnas Italia menuju Rusia 2018, apalagi selaku calon kampiun.

Padahal, mengertilah bahwa ekspektasi publik Italia, sang juara Piala Dunia 4 kali, amat tinggi untuk berprestasi.

Karena itu, mungkin ada baiknya Italia memang batal ke Piala Dunia karena konstruksi yang dibangun Ventura belum sampai atap.

Pekerja pun butuh jeda guna merancang ulang desain bangunan kalau-kalau ada salah ukur atau salah takar komposisi.

Tugas konstruksi bertahap itulah yang bakal dikerjakan penerusnya, kalau dia jadi dipecat.

Italia bisa mencontoh Jerman, yang menjadikan kebobrokan di Piala Eropa 2000 sebagai titik balik kebangkitan demi merevitalisasi segala sistem, kebijakan timnas, hingga produksi pemain.

Dikenal sebagai bangsa telaten, Jerman baru kontan memetik hasil itu 14 tahun kemudian dengan trofi Piala Dunia 2014.

Akan tetapi, apakah Italia juga harus menunggu selama itu?

 

Italia di pastikan tidak akan mengikuti gelaran Piala Dunia 2018 setelah kalah agregat 0-1 dari Swedia #italia #swedia #playoff #pialadunia2018 #worldcup2018

A post shared by BolaSport.com (@bolasportcom) on