Malam Penghargaan Liga 1 dan Sepak Bola Nasional yang Tetap Lucu serta Menggemaskan

By Andrew Sihombing - Jumat, 22 Desember 2017 | 17:06 WIB
Pelatih Bhayangkara FC Simon McMenemy bersama pemainnya diarak dari Mabes Polri menuju Stadion PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (12/12/2017) (BOLASPORT/VERDI HENDRAWAN)

Klub tentu tak mau salah langkah menggelontorkan fulus gede, namun pemain yang dibeli itu akhirnya tak bisa dimainkan.

Musim lalu, tiap klub bisa memainkan tiga pemain asing, salah satunya dari negara Asia, plus marquee player.

Nah, soal marquee player inilah yang disebut tengah menjadi perdebatan untuk musim 2018.

Seorang kenalan yang lama berkecimpung di sepak bola nasional menyebut marquee player tak bakal ada lagi musim depan.

Alasannya demi asas keadilan karena tak semua klub punya kekuatan finansial membiayai marquee player.

Sebagai gantinya, setiap klub kemungkinan bakal diizinkan memakai 4 pemain asing dengan 1 di antaranya dari Asia.

Bila benar begini, artinya Liga 1 tidak akan move on, melainkan berjalan mundur mengingat ISL musim 2015 yang berhenti dini itu memakai regulasi bahwa tiap klub hanya memainkan 3 pemain asing.

Belakangan, muncul lagi wacana baru bahwa kuota pemain senior dibatasi di tiap klub.

Jumlah pemain U-23 juga diperbanyak dibanding musim lalu, tapi tanpa kewajiban memainkan mereka.

Langkah mundur soal jumlah pemain asing tak pelak akan menjadi kelucuan tersendiri.

Begitu pun pembatasan pemain berdasarkan faktor usia.

Bukankah esensi profesionalisme semestinya adalah kompetensi dan bukan faktor lain?

Namun, di antara semuanya itu, kelucuan terbesar tentulah regulasi yang terus berubah dari waktu ke waktu.

Tentu tak ada yang salah dengan perubahan.

Namun, bila berubah, harus lebih dulu dengan pertimbangan matang demi kemaslahatan bersama dan ada periode toleransi hingga aturan baru betul-betul diterapkan.

Ingat dengan Financial Fair Play (FFP) yang diterapkan UEFA?

Aturan ini secara prinsip disetujui pada September 2009 dan awalnya direncanakan baru berlaku mulai 2011-12.

Pada awal 2010, Asosiasi Klub Eropa bahkan sukses menunda penerapan penuh regulasi FFP hingga 2015 agar klub bisa beradaptasi lebih dulu.

Nah, bila regulasi di kompetisi kasta teratas nasional bisa berubah sedemikian cepatnya dan tanpa analisis yang betul-betul matang serta tak memberi ruang bagi para pelaku utamanya untuk beradaptasi, siapkah kita menjadi sasaran kelucuan?