Ironi Barcelona dari Wales, Chairman yang Seharusnya Lengser Keprabon

By Senin, 21 Mei 2018 | 20:47 WIB
Bek Swansea City, Alfie Mawson (tengah), merayakan gol yang dia cetak ke gawang Liverpool FC dalam laga Liga Inggris di Stadion Liberty, Swansea, pada 22 Januari 2018. ( GEOFF CADDICK/AFP )

Pemain-pemain Spanyol bercokol di starting eleven dengan Michu (masih ingat?) sebagai aktor utama. Sayangnya, 35 pertandingan liga sejak momen epik di Wembley hanya berhias 8 kemenangan dan justru belepotan 18 kekalahan.

Performa gurem ini membuat manajemen merasa pantas memecat pelatih pemberi gelar pertama dalam sejarah klub.

Formula instan (dalam penggantian manajer) dipakai. Manajemen menunjuk pemain paling senior yang mengapteni tim bertualang di empat divisi, Garry Monk.

Swansea selamat dari degradasi saat musim berakhir dan Monk menunjukkan maginya di musim setelahnya. Gelaran 2014/15 ditunaikan Si Angsa dengan hinggap di posisi 8, mengungguli capaian Rodgers dan Laudrup.

Daily Mail menyebut Monk berhasil mendemonstrasikan keluwesan taktik di sepanjang musim, termasuk kala menghadapi tim-tim mapan.

Namun, sebelas pertandingan pertama di musim berikut hanya berbuah satu kemenangan sehingga Monk pun dilengserkan.

Bisa dibilang pada titik inilah keberuntungan Swansea habis. Mereka menunjuk penyembah taktik asal Italia, Francesco Guidolin, guna mengangkat performa tim.

Ia berhasil untuk kemudian bernasib sama seperti Monk: dipecat semusim berselang.

Pencarian suksesor Guidolin berakhir di kepala plontos trainer dari negeri seberang Atlantik.

Bob Bradley, seorang patriot Amerika Serikat yang sedang menguji diri di Le Havre (saat itu divisi dua Liga Prancis) dipanggil.