Ironi Barcelona dari Wales, Chairman yang Seharusnya Lengser Keprabon

By Senin, 21 Mei 2018 | 20:47 WIB
Bek Swansea City, Alfie Mawson (tengah), merayakan gol yang dia cetak ke gawang Liverpool FC dalam laga Liga Inggris di Stadion Liberty, Swansea, pada 22 Januari 2018. ( GEOFF CADDICK/AFP )

Waktu singkat Bradley terasa konyol sebab, menurut ESPN FC, tren terkini (demi meraih target sintas) justru mengungkapkan kecenderungan klub mengisi pos pelatih dengan bejibun pengalaman di Inggris.

Jenkins pun berusaha melakukannya di Swansea. Penyesalan terbesar dalam rentang panjangnya di Swansea terjadi pada musim panas 2016.

Ia mengaku sudah berbicara tiga kali dengan Brendan Rodgers tetapi tak sanggup menariknya kembali demi apa pun. Kerja sama dengan Guidoulin pun berlanjut, walau akhirnya putus empat bulan kemudian.

Kemungkinan baliknya Rodgers ke Liberty memang tidak menjamin kenyamanan klub di liga, tetapi ia baru saja “menimba ilmu” di Liverpool dan niscaya punya nilai tawar lebih dibanding Bradley atau Guidolin.

Pengangkatan Paul Clement, di sisi lain, sebenarnya merupakan perjudian oleh Jenkins. Clement adalah contoh langka, ia berstatus pelatih lokal terakhir yang saat penunjukkannya belum punya pengalaman menukangi tim Premier League mana pun.

Eks tangan kanan Carlo Ancelotti tersebut hanya pernah menempati pos manajer di Derby County hanya untuk tujuh bulan. Ia mujur di musim pertama mengasuh Swansea hanya untuk digusur pada Desember lalu.

Kritik kepada Jenkins juga menyasar pada kurang jelinya ia dalam perekrutan pemain, terindikasi dari beberapa rekrutan yang tidak banyak memberi faedah.

Sebut saja Borja Baston yang datang dengan mahar 15 juta poundsterling tapi ditendang demi memberi tempat pada jebolan akademi Oliver McBurnie.

Musim panas lalu Swansea berada di deret paling belakang dalam urusan jumlah belanja di Premier League.

Kepada Wales Online, Jenkins berusaha mengungkap realita finansial Swansea.