Siklus Emas Tim Spanyol di Atap Eropa, Siapa Berikutnya?

By Beri Bagja - Minggu, 27 Mei 2018 | 14:04 WIB
Para pemain Real Madrid merayakan kesuksesan menjuarai Liga Champions setelah menaklukkan Liverpool FC 3-1 pada final di Stadion NSC Olimpiyskiy, Kiev, Ukraina, pada Sabtu (26/5/2018). (LLUIS GENE / AFP )

Musim ini Real Madrid juara Liga Champions rentet ketiga. Atletico Madrid kampiun Liga Europa. Spanyol benar-benar sedang berada di atap Eropa.

Dominasi Spanyol bukan omong kosong karena kekuasaan mereka di Eropa soal sepak bola sudah terhampar sejak masuk milenium ketiga.

Kalau dikerucutkan lebih kekinian, Benua Biru ibarat jadi koloni Negeri Matador karena mereka telah - dan bakal - merajai 14 ajang dari 15 piala yang diperebutkan sejak 2014!

Supremasi itu bahkan meruncing apabila menghitung 4 kejuaraan terakhir Piala Dunia Klub yang juga dimenangi klub Spanyol.

Mari carik data tersebut satu per satu. Dominasi nyaris nirnoda itu diawali oleh kesuksesan Sevilla juara Liga Europa 2013-2014. 

(Baca Juga: Daftar Juara Liga Champions - Real Madrid 13 Gelar, Siapa Bisa Kejar?)

Di level lebih tinggi musim itu, Real Madrid memenangi final sesama wakil Spanyol, Atletico Madrid, untuk mengangkat trofi Liga Champions.

Piala Super Eropa yang menyuguhkan duel antartim Spanyol tahun itu pun dimenangi Real Madrid.

Pada 2015, Barcelona ganti menyegel gelar Liga Champions, sedangkan Sevilla juara Liga Europa untuk kali kedua beruntun. Barca menekuk Sevilla di Piala Super Eropa.

Warsa 2016, Real Madrid mengulang episode final dua tahun sebelumnya dan kembali memukul Atletico di final LC.

Adapun Sevilla sukses mengunci hat-trick juara LE dengan menekuk Liverpool.

Seperti yang sudah-sudah, El Real kembali menjungkalkan Sevilla di Piala Super Eropa.

Memasuki 2017, Real Madrid menancapkan rekor sebagai juara bertahan Liga Champions. Satu anomali terjadi di Liga Europa dengan munculnya Manchester United sebagai kampiun.

30 - Pada 30 final kompetisi antarklub Eropa dalam sedekade terakhir, setidaknya ada satu wakil
Spanyol dalam 22 partai final di antaranya.

Rupanya itulah satu-satunya momen dominasi Spanyol ternoda karena di Piala Super Eropa, Cristiano Ronaldo cs lagi-lagi sukses meneruskan tradisi juara dengan menekuk Man United.

Tahun ini, duo Madrid berjaya kembali dengan mengawinkan gelar Liga Champions milik Real Madrid dan Liga Europa punya Atletico secara paripurna.


Atletico Madrid mengangkat trofi Liga Europa setelah memenangi laga final 2017-2018 dengan mengalahkan Olympique Marseille 3-0, Kamis (17/5/2018) dini hari WIB di Stadion Parc OL, Lyon.(FRANCK FIFE / AFP)

Otomatis pemenang Piala Super Eropa 2018 nanti juga satu di antara mereka.

Di balik momen guyuran trofi ini, Spanyol toh mesti berhadapan dengan konteks semakin besar kekuasaan mereka, semakin rentan pula supremasi digerogoti.

Kondisinya mungkin mirip dengan Imperium Monarki Spanyol yang menguasai sepertiga dunia pada abad ke-15 hingga awal abad ke-19.

(Baca Juga: Juara Liga Europa, Atletico Madrid Diguyur Fulus Rp 441 Miliar)

Pada akhirnya, otoritas besar itu hancur akibat kombinasi berbagai hal, seperti perlawanan intensif dari rival, friksi internal teritori kekuasaan, tuntutan independensi, korupsi, krisis finansial, konflik politik, dan lain-lain.

Setengah menujum, Sir Alex Ferguson pernah berpesan soal hal ini.

"Kesuksesan itu seperti siklus. Sekarang adalah dominasi Spanyol. Mereka terbaik, karena itulah mereka menang," kata mantan bos Manchester United itu.

"Namun, hal itu akan berubah. Bisa berubah," ucap sang opa yakin.

3 - Dalam 10 final terakhir di Liga Champions, hanya tiga kali wakil Spanyol absen di partai puncak, yakni pada 2010 (Inter Milan vs Bayern), 2012 (Chelsea vs Bayern), dan 2013 (Bayern vs Dortmund).

Ucapan Fergie memang disokong fakta sejarah bahwa setiap negara atau wilayah mendapatkan porsi era masing-masing dalam siklus kejayaan di Eropa.

Mundur jauh ke zaman 1950 dan 1960-an awal, dua negara Semenanjung Iberia, Spanyol dan Portugal, menguasai gelar Piala Champions antara 1956-1962.

Real Madrid punya lima trofi beruntun, sedangkan Benfica kebagian dua sisanya.

Dalam tujuh musim itu, wakil Spanyol bahkan selalu masuk final.

Siklus emas selanjutnya dialami Italia pada 1960-1969 dengan gelar di Piala Champions (AC Milan 2, Inter Milan 2), Piala Fairs - cikal bakal Piala UEFA/Liga Europa (AS Roma 1), dan Piala Winners (Fiorentina 1, Milan 1).

Kemudian kegemilangan Johann Cruyff meroketkan sepak bola Belanda pada periode 1968-1975.

Negeri Tulip angkat nama dengan mewakilkan juara Piala Champions (Ajax 3, Feyenoord 1) dan Piala UEFA (Feyenoord 1).

Rezim kejayaan berikut pada 1967-1973 milik Inggris dengan hadirnya kampiun Piala Champions (Manchester United 1), Piala Fairs/Piala UEFA (Leeds 2, Newcastle 1, Arsenal 1, Tottenham 1, Liverpool 1), serta Piala Winners (Man City 1, Chelsea 1).

Setelah itu, serdadu-serdadu berotot baja dari Jerman mencuat untuk mendobrak persaingan pada 1973-1983.

Mereka mengutus juara Piala Champions (Bayern Muenchen 4, Hamburg 1), Piala UEFA (Moenchengladbach 2, Frankfurt 1), serta Piala Winners (Hamburg 1).

Kejayaan Jerman tumpang tindih dengan kebangkitan Inggris pada 1975-1985 dalam sayembara titel Piala Champions (Liverpool 4, Nottingham Forest 2, Aston Villa 1), Piala UEFA (Liverpool 1, Ipswich Town, dan Tottenham 1), serta Piala Winners (Everton).

Dominasi rezim ini istimewa karena menandakan supremasi awal The Reds serta munculnya tim-tim legendaris one hit wonder seperti Forest, Ipswich, dan Aston Villa, yang kini bahkan kesulitan sekadar masuk Liga Utama Inggris.

(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)

Beranjak ke zaman paling sarat nostalgia di 1988-1999 saat Italia menjadi kiblat sepak bola dunia.

Kehadiran pemain-pemain top di ladang calcio menjadikan Negeri Piza begitu perkasa dengan ukiran gelar Piala/Liga Champions (Milan 3, Juventus 1), Piala UEFA (Inter 3, Juventus 2, Parma 2, Napoli 1), dan Piala Winners (Sampdoria 1, Parma 1, Lazio 1).

Saking perkasanya Liga Italia kala itu, antara periode 1989-1998, hanya ada satu edisi final Piala/Liga Champions yang tak diikuti oleh wakil Serie A!

Momen langka yang dimaksud ialah final musim 1990-1991 antara Red Star Belgrade vs Marseille.

Pada zaman itu, bahkan klub sekelas Sampdoria menembus final sebelum dikalahkan susah payah Barcelona 0-1 pada 1992.

Sementara itu pada tahun yang sama, Torino melenggang ke laga puncak Piala UEFA guna menantang Ajax.

Setelah masa kegemilangan Italia, dominasi dan distribusi gelar pentas Eropa lebih merata hingga masuklah zaman kejayaan kembali Spanyol kira-kira sewindu terakhir.

Sesuai kata Sir Alex, keunggulan Negeri Matador ditopang pula oleh kemunculan bintang top di dua klub terbesar La Liga, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi di Real Madrid dan Barcelona.

Dengan adanya dua alien tersebut, standar kualitas kompetisi naik semakin tinggi hingga berefek pada eskalasi motivasi pemain lain.

Kini, Ronaldo sudah 33 tahun, Messi segera berumur 31.

Andres Iniesta-Xavi sudah pergi dari Barca. Bahkan Sergio Ramos, Marcelo, Gerard Pique, Luka Modric, sudah memasuki usia kepala tiga.

Kalau program regenerasi bintang sekelas mereka tidak mulus, nantikan runtuhnya kejayaan Spanyol di Eropa hingga siklus beralih ke negara lain.

"Anda tahu, Ronaldo dan Messi akan terus menua. Bisakah mereka (klub) menggantikan pemain-pemain ini? Saya pikir siklus akan berubah," ujar Ferguson, dikutip BolaSport.com dari ESPN pada Maret 2017.

 

Sang juara bertahan Liga Champions, Real Madrid, kembali bisa membawa pulang trofi si kuping besar. . Real Madrid menjadi satu-satunya tim yang bisa menjuarai Liga Champion 3 kali beruntun. . Komentarnya Bolasporter? #realmadrid #championsleague

A post shared by BolaSport.com (@bolasportcom) on