Menantikan Sejarah Saat Korea Utara Menjamu Korea Selatan di Pyongyang

By Muhammad Robbani - Minggu, 13 Oktober 2019 | 20:10 WIB
Heung Min-son saat beraksi bersama timnas Korea Selatan pada ajang Asian Games 2018 di Stadion Si Jalak Harupat (SJH), di Soreang, Kabupaten Bandung. (YONHAPNEWS)

Etnis dan bahasa mereka sama, namun ada jurang besar yang memisahkan mereka sejak terpecahnya dua Korea buntut dari Perang Dunia II dan dimulainya Perang Dingin.

Dua aktor utama Perang Dingin yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) memainkan peran dalam terpisahnya dua Korea.

Uni Soviet datang ke wilayah Korea bagian utara, sementara Amerika Serikat (AS) memberikan pengaruhnya di Korea bagian selatan.

Sejak saat itu, Korea Utara dan Korea Selatan terpisah dan menjadi entitas dua negara yang berbeda.

Pemimpin pertama Korut, Kim Il-sung memilih Juche (self reliance) menjadi idelogi negara yang dipercaya diadopsi dari pemikiran Marxism–Leninism.

Sementara Korsel yang mendapat pengaruh dari AS pun tentu punya ideologi yang bertolak belakang dengan Korut.

Dalam pemberitaan media-media barat, warga Korut digambarkan sebagai orang-orang yang terkekang, tak pernah menikmati kebebasan, dan terus mengonsumsi propaganda pemerintah.

Akses terhadap dunia luar ditutup, termasuk menikmati internet, menyaksikan film luar, atau mendengarkan lagu asing.

Hanya kalangan-kalangan elit yang bisa menikmati semua hal di atas, dan itu kabarnya itu pun terbatas hanya kepada mereka yang tinggal di Pyongyang.

Lamanya perpisahan kedua negara pun kini mulai menyebabkan adanya sedikit perbedaan dari Bahasa Korea.