Chicarron, Piala Presiden 2018, dan Standar Baru Sepak Bola Indonesia

By Andrew Sihombing - Sabtu, 10 Februari 2018 | 16:48 WIB
Ketua Steering Commitee [SC] Piala Presiden 2018, Maruarar Sirait, menyaksikan laga babak 8 Besar Piala Presiden 2018 antara Mitra Kukar melawan Persija Jakarta di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, Minggu (04/02/2018) sore. (SUCI RAHAYU/BOLASPORT.COM)

Publik pun harus angkat topi melihat betapa pesepak bola lokal mulai bisa betul-betul menghormati keputusan wasit.

Hingga perempat final, tak terdengar protes berlebihan hingga menyentuh atau memukul wasit sebagaimana cerita kelam yang sering terdengar dari sepak bola nasional.

Bahkan hukuman penalti bisa diterima dengan lapang dada.

Mungkin ada ketidaksetujuan, tapi semua masih dalam koridor yang ditentukan.

Lihat saja yang terjadi ketika Persija dihukum penalti hingga dua kali dalam laga kontra Bali United, Senin (29/1/2018).

Ismed Sofyan, yang didakwa melakukan pelanggaran dalam salah satu keputusan penalti tersebut, dengan bijak mencegah rekan-rekannya memprotes wasit karena berbicara dengan sang pengadil adalah bagian tugasnya sebagai kapten tim.

Di belakangnya, Bepe turut menghalangi para pemain Persija lainnya yang ingin mengerubungi sang pengadil.

Tulisan ini tak hendak mengatakan aksi Ismed dan Bepe itu hebat karena - selain kemungkinan kedua pemain tersebut bakal cuma tertawa mendengarnya - tentu saja hal semacam itu yang semestinya terjadi di sepak bola Indonesia.

(Baca Juga: 7 Fakta Jelang Laga Persija Vs PSMS untuk Semifinal Piala Presiden 2018)

Bila semua yang terjadi hingga perempat final Piala Presiden 2018 tetap terjaga, percayalah, wacana industrialisasi sepak bola Indonesia punya masa depan cerah.

Dengan semua hal di atas, Piala Presiden 2018 tak pelak telah menjadi standar baru sepak bola di Indonesia.

Bila sudah demikian, mengapa tidak mengangkat kelasnya dari sekadar turnamen pramusim menjadi ajang resmi pengganti Piala Indonesia, misalnya? Setuju?