Di Era Arsene Wenger, Kebahagiaan Tak Akan Ada Artinya Tanpa Kesedihan

By Firzie A. Idris - Senin, 30 April 2018 | 22:31 WIB
Ekspresi pelatih Arsenal, Arsene Wenger, pada laga leg pertama semifinal Liga Europa melawan Atletico Madrid di Stadion Emirates, Kamis (26/4/2018) waktu setempat atau Jumat dini hari WIB. (IAN KINGTON/AFP)

(Baca Juga: Statistik Perlihatkan Evan Dimas Belum Nyaman pada Posisi Baru di Belakang Striker bersama Timnas Indonesia)

Meminjam konsep pemikiran Carl Jung (1875-1961), seorang psikiater asal Swiss, Arsene Wenger merupakan archetype manajer old school

Archetype adalah suatu simbol atau karakter di suatu cerita yang muncul lagi-lagi dan melambangkan sesuatu yang universal di dunia manusia.

Arsene Wenger berasal dari generasi awal Premier League dan bertahan hingga kini, bak sebuah Nokia yang bertahan di era iPhone dan Android.

Wenger adalah seorang thinker of the game, guru yang mengajari anak asuhnya tidak dengan mencontohkan tetapi menularkan konsep berpikirnya kepada anak asuh.

Di lapangan latihan, ia mengandalkan input dari tangan kanannya, Pat Rice dan kemudian Steve Bould. Kedua mantan pemain tersebut punya warisan dan akar rumput kuat di Arsenal.

Secara akumulatif, Rice dan Bould punya lebih dari 650 penampilan di Liga Inggris bagi Arsenal.

Persona, potret yang Arsene Wenger tunjukkan ke dunia, adalah seseorang terkalkulasi yang mengerjakan semuanya dengan presisi dan perhitungan arif.

Ia mungkin terlihat keras kepala di bursa transfer, tetapi pergerakannya (menurut dia) terukur dan terencana.

"Anda perlu logika dalam menyusun struktur gaji tim. Secara pribadi, saya pikir tidak benar untuk mengeluarkan 100 juta pounds dalam membangun tim," tutur Arsene Wenger seperti dikutip BolaSport.com dari Guardian.