Di Era Arsene Wenger, Kebahagiaan Tak Akan Ada Artinya Tanpa Kesedihan

By Firzie A. Idris - Senin, 30 April 2018 | 22:31 WIB
Ekspresi pelatih Arsenal, Arsene Wenger, pada laga leg pertama semifinal Liga Europa melawan Atletico Madrid di Stadion Emirates, Kamis (26/4/2018) waktu setempat atau Jumat dini hari WIB. (IAN KINGTON/AFP)

2 atas Manchester united.

Hasil itu sekaligus menutup satu lagi lembaran di wiracarita 22 tahun Arsene Wenger dalam mengarungi Liga Inggris.

Sebanyak 7881 hari berlalu sejak ia pertama mendarat di London Utara pada 1 Oktober 1996.

Markas Manchester United menjadi salah satu medan pertempuran tersengit sang pelatih selama ia melatih di negeri Ratu Elizabeth II.

Wenger pernah menjuarai Liga Inggris dengan kemenangan di Old Trafford pada 2002 tetapi ia juga pernah kalah 2-8 dan 1-6 di venue sama.

Jangan lupa juga Battle of Old Trafford pada September 2003 saat Martin Keown menghampiri Ruud van Nistelrooy ketika laga berakhir, tak lama setelah sang striker gagal menghujamkan penalti pada menit terakhir duel.

Di Old Trafford juga, Arsenal kalah 0-2 pada Oktober 2004 sehingga catatan tak terkalahkan angkatan The Invincibles berdiri di angka 49.

Rentang emosi yang para fans Arsenal harus hadapi di kandang Manchester United merupakan saksi tidak hanya betapa fluktuatif Arsenal bersama Wenger tapi juga lamanya sang Professor menghabiskan waktu di kubu London Utara.

Bagi banyak orang, Wenger adalah satu hal yang konstan dalam inkonsistensi Arsenal.

Seorang guru yang senantiasa ada, baik dalam duka maupun suka di London Utara.

(Baca Juga: Statistik Perlihatkan Evan Dimas Belum Nyaman pada Posisi Baru di Belakang Striker bersama Timnas Indonesia)

Meminjam konsep pemikiran Carl Jung (1875-1961), seorang psikiater asal Swiss, Arsene Wenger merupakan archetype manajer old school

Archetype adalah suatu simbol atau karakter di suatu cerita yang muncul lagi-lagi dan melambangkan sesuatu yang universal di dunia manusia.

Arsene Wenger berasal dari generasi awal Premier League dan bertahan hingga kini, bak sebuah Nokia yang bertahan di era iPhone dan Android.

Wenger adalah seorang thinker of the game, guru yang mengajari anak asuhnya tidak dengan mencontohkan tetapi menularkan konsep berpikirnya kepada anak asuh.

Di lapangan latihan, ia mengandalkan input dari tangan kanannya, Pat Rice dan kemudian Steve Bould. Kedua mantan pemain tersebut punya warisan dan akar rumput kuat di Arsenal.

Secara akumulatif, Rice dan Bould punya lebih dari 650 penampilan di Liga Inggris bagi Arsenal.

Persona, potret yang Arsene Wenger tunjukkan ke dunia, adalah seseorang terkalkulasi yang mengerjakan semuanya dengan presisi dan perhitungan arif.

Ia mungkin terlihat keras kepala di bursa transfer, tetapi pergerakannya (menurut dia) terukur dan terencana.

"Anda perlu logika dalam menyusun struktur gaji tim. Secara pribadi, saya pikir tidak benar untuk mengeluarkan 100 juta pounds dalam membangun tim," tutur Arsene Wenger seperti dikutip BolaSport.com dari Guardian.

(Baca juga: Menang dan Cetak Empat Gol ke Gawang PSMS, Persela Melesat ke Posisi Enam Besar)

"Dalam jangka panjang hal ini tak bisa diterima. Saya pikir adalah skill seorang manajer untuk memaksimalkan sumber daya yang ia punya," tuturnya.

Ia menekankan keharusan membuat neraca keuangan klub seimbang agar Arsenal tidak menjadi bangkrut.

Wenger pernah mengutarakan bahwa belanja besar hanyalah soal status.

"Saya bisa saja mendorong klub untuk mengambil hutang besar. Saya mungkin sukses tetapi pelatih yang datang setelah saya akan menderita karena ia tak bisa membeli pemain," lanjutnya.

Dalam hal ini, ia mengaku meninggalkan tim dengan pemain-pemain bagus dan klub dalam kondisi keuangan sehat.

Nah, dalam waktu dekat, kita akan langsung lihat apakah ucapan Wenger benar adanya atau hanya isapan jempol belaka.

Arsenal tampak bakal melalui musim panas besar pada akhir musim ini.

Tiga pemain senior akan habis kontrak, Per Mertesacker (33), Santi Cazorla (33), dan Jack Wilshere (26).


Gelandang Arsenal, Jack Wilshere, merayakan gol yang dia cetak ke gawang Chelsea dalam laga Liga Inggris di Stadion Emirates, London, pada 3 Januari 2018. ( ADRIAN DENNIS/AFP )

Lima personel kunci juga akan memasuki tahun terakhir ikatan kerja mereka: Petr Cech, Nacho Monreal, Aaron Ramsey, Danny Welbeck, dan David Opsina.

Dari kuintet ini, Ramsey yang diisukan paling kencang untuk pergi dari kubu Emirates.

Siapa pun penerus Arsene Wenger, dia akan menghabiskan banyak waktu bongkar pasang skuat.

Aliran pemain masuk dan pergi pasti akan deras. Namun, bujet transfer bisa jadi tersedot untuk menjaga beberapa pilar utama tadi dari meninggalkan London Merah.

Di sini kita akan melihat financial sustainability, ketahanan finansial Arsenal, diuji hingga batas-batasnya.

Belum lagi, Piala Dunia akan memotong waktu sang pelatih baru untuk mengintegrasikan filosofi barunya ke dalam tim.

Era Arsene Wenger di Arsenal akan selalu dikenang oleh segala kesuksesan yang ia raup dalam paruh pertama kariernya.

Namun, duka juga tak jarang menyelimuti The Gunners pada paruh kedua era kepelatihan sang manajer.

Sukacita dan pilu. Hura-hura dan sengsara. Begitulah yin dan yang perjalanan Arsenal di bawah seorang Arsene Wenger.

Pun, seperti kata Carl Jung, satu hal tak akan terjadi tanpa yang lain dan mereka saling mengimbangi.

"Kata 'bahagia' akan kehilangan artinya, jika tidak diseimbangkan oleh kesedihan," ujarnya.