Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Benarkah pasukan Joachim Loew dihantam masalah yang tak bisa diatasi untuk membawa Jerman menyamai Brasil dan Italia?
Jerman adalah juara Piala Dunia 2014. Sebagai juara bertahan, warga dan pendukung timnas Jerman tentu ingin melihat timnya mengikuti jejak Italia (1934 dan 1938) serta Brasil (1958 dan 1962).
Ya, dari 8 tim yang berhasil menjuarai Piala Dunia hanya Italia dan Brasil yang mampu mempertahankan gelar juaranya di edisi kejuaraan berikut.
Jerman, termasuk Jerman Barat, sudah 4 kali menjadi juara dunia. Akan tetapi, Jerman gagal menjaga gelar juara yang mereka raih di 4 edisi tersebut.
Penting tak penting, ada hal unik usai Jerman berjaya di Piala Dunia. Tim yang kemudian duduk di singgasana usai Jerman juara (1954, 1974, 1990, 2014) adalah negara Amerika Selatan.
(Baca Juga: Manuel Neuer: Jerman Tak Perlu Ubah Pemain, tapi Ubah Sikap)
Brasil juara di Piala Dunia 1958, lalu Argentina di Piala Dunia 1978, dan Brasil kembali berjaya di Piala Dunia 1998.
Jadi, di edisi 2018 akan menjadi milik Brasil atau Argentina... atau Uruguay?
Ah, biarlah itu menjadi hitung-hitungan lucu. Tapi, mari melihat timnas Jerman dan ancaman yang mereka hadapi.
Di laga perdana mereka, Grup F, Jerman menyerah 0-1 dari Meksiko.
Memang Jerman lebih mendominasi secara penguasaan bola. Memang Jerman lebih banyak melepaskan tembakan ancaman ke gawang lawan.
Akan tetapi, gairah bermain dan kemauan untuk menang diklaim milik Meksiko.
Pendukung Jerman sedih, kecewa, dan nyaris tak percaya melihat penampilan pasukan Joachim Loew. Kritikan pedas bertubi-tubi menghantam Mesut Oezil dkk.
Apakah satu pertandingan, walau berujung kekalahan, membuat pemain Jerman layak menerima penghakiman dan luapan kekecewaan dari berbagai pihak?
Komentar-komentar negatif yang muncul usal laga melawan Meksiko seolah meneruskan cemooh publik Jerman kepada gelandang Ilkay Gundogan.
"Presiden saya." Kalimat yang dipakai Ilkay Gundogan usai bertemu Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada pertengahan Mei 2018, bak meniupkan bara.
(Baca Juga: David Beckham Prediksi Final Piala Dunia 2018)
Gundogan tidak sendirian. Ia bertemu Erdogan bersama Mesut Oezil, pesepak bola kelahiran Jerman yang juga berdarah Turki, di Kota London.
Bos Federasi Sepak Boa Jerman, Reinhard Grindel, sangat kecewa pada dua pemain timnas Jerman itu karena bertemu dengan pemimpin Turki yang disebut tidak memiliki nilai yang sama dengan Jerman.
"Tidak baik bila pemain internasional kami terlibat dalam manipulasi kampanye politik," kata Grindel.
Apakah yang dimaksud Grindel itu bahwa Mesut Oezil dan Ilkay Gundogan tidak membantu upaya Federasi Sepak Bola Jerman dalam menyatukan tim nasional?
Pembelaan tentu wajar dilakukan kedua pemain tersebut. Bagaimanapun, ada darah Turki di tubuh mereka walau status kewarganegaraan adalah Jerman.
Foto Oezil dan Gundogan bersama Erdogan mungkin tidak akan menjadi bara api bila Jerman bisa mengalahkan Meksiko di laga perdana Piala Dunia 2018.
Melawan Meksiko, Mesut Oezil bermain penuh sedangkan Gundogan duduk diam di bangku cadangan sepanjang laga.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskow)
Namun, performa Oezil membuat marah sejumlah pihak, termasuk legenda sepak bola Jerman, Mario Basler.
Mantan gelandang timnas Jerman dan Bayer Muenchen itu menyebut pujian terhadap Mesut Oezil selama ini terlalu berlebihan.
Oezil menerima kritikan pedas karena kontribusinya minim dalam membantu timnya bertahan.
"Bahkan, perannya kecil saat Jerman menjuarai Piala Dunia 2014," kata Mario Basler.
Masih ingat Lothar Matthaeus? Kapten Jerman saat menjuarai Piala Dunia 1990 itu menyebut Oezil bermain tanpa semangat saat mengenakan jersey timnas Jerman. Kok bisa?
Matthaeus bahkan menyarankan Joachim Loew untuk mencoret Oezil dari daftar starter ketika Jerman berjumpa Swedia pada 23 Juni 2018.
Manajer timnas Jerman, Oliver Bierhoff, sadar sebagian pemain tengah mendapatkan sorotan negatif dari media massa. Termasuk Sami Khedira, pemain berdarah Tunisia dari sang ayah.
Saya sepakat dengan Bierhoff, mantan penyerang Jerman dan pahlawan di Piala Eropa 1996. Bahwa kritikan dari luar tidak boleh memengaruhi keputusan Joachim Loew sebagai pelatih.
Akan tetapi, saya juga menunggu keputusan sang pelatih untuk memanfaatkan kobaran api semangat beberapa pemain muda yang menunggu kesempatan.
Lebih dari itu, saya menunggu keputusan Loew dalam memulihkan "luka" di tubuh tim Jerman untuk mengikuti jejak Italia dan Brasil sebagai tim yang mempertahankan gelar juara dunia.
Tidakkah wajar bila kita ingin tahu seperti apa suasana di tubuh timnas Jerman saat ini?
Sejumlah pemain dituding tidak bangga membela negaranya akibat pengaruh garis keturunan namun terus mendapatkan "karcis terusan" timnas. Aneh, bukan?
Tentu kita teringat bagaimana perubahan besar terjadi di timnas Spanyol.
Bertahun-tahun saya membaca bagaimana konflik kedaerahan telah memangsa timnas Spanyol. Garang di babak kualifikasi, lempem di putaran final.
Rivalitas antara Real Madrid dan FC Barcelona telah memakan korban tim nasional Spanyol. Belum lagi dari kubu lain, seperti pemain asal wilayah Basque.
Namun, semua itu sirna ketika Luis Aragones membawa Tim Matador juara Piala Eropa 2008, dan kemudian dilanjutkan oleh Vicente Del Bosque di Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012.
Di kubu Jerman, rivalitas itu bukan lagi soal pemain Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund.
Apakah garis pemisah itu bernama darah murni Jerman?
Mengambil istilah "muggle" dari film Harry Potter, timnas Jerman juga mengenal darah tak murni dalam wujud sejumlah pemain.
Sedih bila mengenang kisah Gerald Asamoah di Piala Dunia 2006. Pria berdarah Ghana ini mendapat penolakan dari sebagian warga Jerman.
Asamoah bukan pria berkulit gelap pertama di timnas Jermman.
Mundur ke tahun 1970-an, Erwin Kostedde dan Jimmy Hartwig lebih dahulu menjadi pesepak bola berkulit gelap yang membela Jerman Barat.
Masih ingat Mehmet Scholl? Ayahnya Turki, ibunya Jerman. Oliver Neuville lahir di Swiss dari ayah Jerman dan ibu Italia.
Juga Lukas Podolski dan Miroslav Klose yang berasal dari Polandia.
Sederet nama "muggle" bisa dikemukakan, termasuk bek Jerome Boatang yang setengah berdarah Ghana. Namun, benarkah muggle edisi 2018 tidak berperan penting seperti Hermione Granger di film Harry Potter?