Picasso dan Duka Barcelona

By Persiana Galih - Rabu, 12 September 2018 | 07:00 WIB
Taman di tengah Museum Picasso, Malaga, Spanyol, salah satu dari sedikit objek yang boleh diabadikan di museum tersebut. (PERSIANA GALIH/BOLA)

Lepas dari prinsip kubisme, garis-garis lengkung dalam objek lukisannya menggambarkan sikap dinamis dan luwes. Begitulah sepak bola di matanya, mungkin, berubah-ubah tiap masa di mana ada juga kesempatan final bagi Barcelona.

Sementara gairah sepak bola seakan tertancap pada garis zig-zag sebagai rumput dalam lukisannya. Hijau menyala.

Sekali lagi, sepak bola dinamis. Barcelona akhirnya menikmati kemenangan pertamanya di final Liga Champions pada musim 1991-1992. Hayat Picasso berakhir pada 8 April 1973. Waktu itu fana, kita abadi, kata Sapardi.


Museum Picasso di Malaga, Spanyol.(PERSIANA GALIH/BOLA)

Pele

Tulisan ini saya curahkan di tengah taman Musseo Picasso di Centro de Malaga, Spanyol. Menikmati seni adalah ibadah, tuan. Dan melihat karya Picasso dari jarak semeter adalah anugerah, meski saya mesti merogoh kocek 8 Euro atau sekitar Rp136 ribu.

Di sana pula kebetulan digelar eksibisi berjudul “Warhol. Mechanical Art”. Tak adil rasanya jika saya hanya membicarakan sepak bola dengan Picasso, saat di mana wajah Andy Warhol tersusun di banyak dinding Museum Picasso.


Eksibisi "Warhol. Mechanical Art" di Museum Picasso, Malaga, Spanyol.(PERSIANA GALIH/BOLA)

Warhol pun pencinta sepak bola, lebih tepatnya pencinta pesepakbola legenda Brasil, Pele.