Paradoks Lionel Messi dan Hantu Diego Maradona

By Beri Bagja - Sabtu, 23 Juni 2018 | 11:38 WIB
Suporter timnas Argentina membentangkan spanduk dengan gambar Lionel Messi di tribune Stadion Nizhny Novgorod dalam partai Grup D melawan Kroasia, 21 Juni 2018. ( DIMITAR DILKOFF / AFP )

Messi lebih disayangi fan di luar negaranya sendiri karena dia "pemain baik-baik", bertolak belakang dengan cap kotor yang disematkan orang Eropa terhadap pesepak bola Amerika Selatan kebanyakan. 

Alih-alih menggoreskan tato pejuang seperti Che Guevara layaknya Maradona, Messi memilih membubuhkan tato ibu dan anaknya di lengan.

Saat gugup, Messi muntah. Ketika kecewa di lapangan, dia akan cemberut atau bungkam kepada media, merenungi keadaannya.

Dia bukan tipe pemberontak dan cenderung menghindari konflik daripada membereskannya secara jantan.

Saat diajukan pertanyaan seperti Maradona soal apakah dirinya pemain terbaik di dunia, Messi menjawab, "Jangan membicarakan saya sebagai pemain terbaik".

Sifat merendah memang positif, tetapi itulah yang membuat publik Argentina menilai Messi tak punya wibawa dan tingkat kepercayaan diri seperti Maradona, padahal mereka sama-sama diberkahi skill luar biasa.

Bisa jadi sikap tersebut dianggap pengingkaran atas talenta spesial yang dianugerahkan kepada Messi.

Karena berbagai pertentangan itu, wajar apabila segelintir warga Argentina tidak akan pernah menyayangi Messi seperti mereka memuja Maradona.

Akibat hal itu pula sekelompok fans Tim Tango mati-matian membela Carlos Tevez agar ditarik kembali ke timnas karena dia dinilai lebih mewakili karakter militan orang Argentina daripada Messi.

Selain beban komparasi tak berujung dengan Maradona demi trofi Piala Dunia, tekanan buat Messi di Rusia 2018 bisa bertambah karena rivalnya, Cristiano Ronaldo, sudah selangkah di depan.