Suporter Persija Tewas, Apakah Pelajaran dari Liga Inggris Bisa Diterapkan?

By Firzie A. Idris - Senin, 24 September 2018 | 15:00 WIB
Suporter Sunderland dikawal pulang oleh Kepolisian Northumbria setelah menyaksikan laga Newcastle vs Sunderland di St James'Park, Newcastle, pada 1 Februari 2014. (IRNANDA SOERJATMODJO/ISTIMEWA)

Laporan Popplewell pada Mei 1985 setelah Tragedi Bradford di mana 56 suporter mati terbakar di Stadion Valley Parade menyimpulkan bahwa klub punya tanggung jawab untuk perawatan dan keamanan fisik stadion.

Namun, polisi yang punya hak de facto untuk mengorganisir massa selama laga.

High visibility vest, baju berwarna kuning terang yang dipakai polisi di Inggris membuat para suporter tenang mengetahui bahwa mereka berada di bawah perlindungan polisi.

Pada kondisi normal, kita tidak lagi melihat polisi mengamankan laga Liga Inggris dengan mengacungkan senapan mereka.

Peter Waddington, seorang professor kebijakan sosial di Universitas Wolverhampton, mengatakan kalau polisi Inggris menolak membawa senjata karena tanggung jawab utama kepolisian Inggris terletak kepada publik.

Trust yang terbangun antara para suporter dan pihak kepolisian Inggris juga sudah membaik. Sebaliknya, karena satu dan lain hal, rasa percaya antara pendukung sepak bola lokal dengan aparat Tanah Air masih belum terjalin.

Nah, problema ketiga tidak kalah sulit dan memerlukan solusi jangka panjang, yakni kurangnya infrastruktur memadai.

Baik itu minimnya akses ke sekitar stadion, kurangnya jalan sebagai nadi perhubungan, atau tidak adanya sistem transportasi massal modern di berbagai kota tugas aparat Indonesia memang kian berat.

Mustahil memang mengatur pergerakan massa dengan efektif dari dan menuju stadion-stadion Tanah Air, terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya, Jakarta, dan Bandung.

Pilu di sepak bola Indonesia memang sudah terlalu banyak.

Setiap kali ada suporter meninggal, kita selalu bilang "biarlah ini menjadi yang terakhir". Nyatanya, tragedi berulang lagi dan lagi.

Dalam hal ini kita harus ingat apa yang pernah diungkapkan oleh Roberto Martinez pada acara 25 tahun peringatan Tragedi Hillsborough, yang merenggut nyawa 96 suporter Liverpool.

"Bagaimana bisa seseorang meninggal kala menonton tim kesayangan mereka? Ini tidak benar. Ini tidak adil," ujar Martinez yang ketika itu menjabat sebagai pelatih Everton.